Bangun Marwah Kejaksaan, Jaksa Agung Ungkap Salah Satunya Tuntutan Hukuman Mati Pelaku Korupsi Big Fish

16 Desember 2021, 10:55 WIB
Jaksa Agung Burhanuddin diskusi webinar Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Yang Modern /Foto: Tangkaplayar webinar/beritasubang.com

 

BERITA SUBANG - Jaksa Agung Burhanuddin akui tidak dapat dipungkiri sistem hukum di Indonesia lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, dimana penegakan hukum khususnya hukum pidana lebih dominan dipergunakan melalui sudut pandang punitif, saat ini hukum dirasa hampa tanpa memberikan manfaat berarti bagi masyarakat, khususnya kepada para pendamba keadilan dari kaum lemah, sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat lemah.

“Berlandaskan alasan tersebut di atas, maka muncul kegelisahan dari benak saya bagaimana cara mengubah paradigma penegakan hukum dalam menghadirkan tujuan hukum secara tepat dalam menyeimbangkan nilai dan norma baik yang tersurat maupun tersirat, dan untuk menjawab hal tersebut Kejaksaan telah membuat regulasi penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” ujar dia dalam diskusi webinar Forwaka dibawah Ketua Zam Zam Siregar yang bertema marwah Kejaksaan, membangun Adhyaksa yang modern, pada Rabu 15 Desember 2021.

Ia menjelaskan aturan ini bertujuan untuk pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan keseimbangan, perlindungan serta kepentingan korban. Konsep pemulihan dalam hal ini juga bertujuan memberikan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat.

Oleh karena itu keadilan yang dilandasi perdamaian pelaku, korban dan masyarakat yang menjadi moral etik restorative justice karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Baca Juga: Tuntutan Hukuman Mati Heru Hidayat pada Kasus PT Asabri, Jaksa Terjebak Pada Frasa 'Keadaan Tertentu'!

Selain itu, dia memastikan Kejaksaan berkomitmen dalam hal penegakan hukum secara konsisten dan tegas serta tidak pandang bulu, khususnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, hal ini dibuktikan dengan penanganan perkara korupsi dengan klasifikasi big fish.

Disamping itu ia mengklaim Kejaksaan telah melakukan terobosan hukum dengan penerapan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa tindak pidana korupsi, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak coba-coba melakukan perbuatan korupsi.

Lanjut dia penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi tersebut tidak hanya berorientasikan pada bentuk penghukuman secara badan saja, namun dalam hal ini Kejaksaan juga berkomitmen untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari tindakan koruptif para pelaku.

“Menjaga dan meningkatkan marwah Kejaksaan juga harus didukung dan ditunjang oleh profesionalitas dan integritas para Jaksa, salah satu tugas dan agenda utama pada saat saya diberi mandat oleh Presiden untuk menjabat Jaksa Agung adalah memulihkan marwah institusi Kejaksaan yang mana salah satu faktor utama dalam upaya tersebut adalah dengan meningkatkan integritas dan profesionalitas disetiap individu insan Adhyaksa,” ujarnya.

Baca Juga: Jaksa Agung Burhanuddin Ancam Jajarannya Cari Keuntungan Pada Kebijakan Keadilan Restoratif, Laporkan!

Alasan memberikan hukuman mati menurut Burhanuddin adalah dasar pemikiran dan kebijakannya sebagai upaya memulihkan marwah Kejaksaan. Karennya dia mengajak insan Adhyaksa untuk selalu mengedepankan integritas dan profesionalitas dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang, hal tersebut dikarenakan sudah seharusnya kedua karakter tersebut telah melekat dan tertanam di dalam setiap insan Adhyaksa.

Selain itu adanya perubahan UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang telah disahkan, dengan harapan UU itu mampu memulihkan, menjaga marwah institusi Kejaksaan serta menciptakan penguatan kelembagaan yang lebih baik untuk mendorong Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang terdepan dan menjadi role model dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan humanis.

Dia juga mempertegas penerapan asas single prosecution system bahwa kewenangan penuntutan harus tunggal dimana Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi di NKRI, implikasi asas ini juga tercermin dari dicantumkannya JAM Pidmil pada Undang-Undang Kejaksaan akan semakin memperkuat kedudukan JAM Pidmil, sehingga kedepannya penyelesaian kasus dapat lebih terukur dan semoga tidak lagi disparitas penuntutan.

"Melalui Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi," ujarnya.

Baca Juga: Jaksa Agung Burhanuddin Tertimpa Isu Ijazah Latar Belakang Pendidikan, Pakar: Perlu Verifikasi

Selain itu, pengembangan kesehatan yustisial, ini menjadi salah satu poin penting, dimana permasalahan kesehatan rohani dan jasmani tersangka atau terdakwa sering dijadikan alibi untuk menunda proses penegakan hukum. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk menunda-nunda pemeriksaan.

"Karennya, Kejaksaan wajib menyelenggarakan kesehatan yustisial dalam bentuk pembangunan atau tata kelola rumah sakit Adhyaksa yang dapat mendukung penegakan hukum secara efektif dan efisien," tutur dia.

Kemudian, kewenangan dalam pemulihan aset. Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

"Keberadaan Pusat Pemulihan Aset memiliki legitimasi yang kuat melalui undang-undang ini," ujar Burhanuddin.

Lalu, terkait kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia, atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13- 20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 bahwa Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melakukan pengamanan terhadap peredaran barang cetakan harus melakukan penyitaan atau tindakan hukum lain melalui proses peradilan.

Baca Juga: Bekas Dirut Asabri Dituntut 10 Tahun Penjara dan Uang Pengganti Rp64.5 M, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati

Mengingat perkembangan teknologi, maka tidak hanya barang cetakan namun juga harus diperluas kepada berbagai bentuk objek multimedia.

Setiap tindakan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang dilakukan oleh Kejaksaan harus melalui proses pengadilan baik melalui penetapan dan/atau putusan oleh Pengadilan.

Pada UU Kejaksaan yang baru juga, perlindungan Jaksa dengan memberikan keamanan dan kenyamanan Jaksa beserta keluarganya apabila adanya ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda.

Lalu, status Jaksa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kekhususan. Jaksa memiliki karakteristik khusus yang tidak dapat dimiliki oleh PNS. Jaksa harus dipandang sebagai profesi hukum, sebab selain harus memiliki keahlian dan keterampilan hukum, Jaksa juga harus berperilaku sesuai dengan standar mminimum profesi Jaksa, kode etik profesi, dan doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa.

Selain itu, syarat usia menjadi Jaksa paling rendah 23 tahun dan paling tinggi 30 tahun, hal ini sebagai penyesuaian dari dunia pendidikan yang menghasilkan lulusan muda. Hal ini sekaligus untuk memberikan kesempatan karir yang lebih panjang.***

Editor: Edward Panggabean

Tags

Terkini

Terpopuler