Wacana Pidana Mati Koruptor, Yenti Garnasih: Bukan Urusan Jaksa Agung, Bagaimana Pinangki!

- 30 Oktober 2021, 20:39 WIB
Jaksa Agung Burhanuddin
Jaksa Agung Burhanuddin /Foto: Puspenkum Kejagung/

Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan.

"Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Yenti menyebut jika RUU KUHP disahkan, nantinya mekanisme hukuman mati akan berubah.

"Pidana mati itu merupakan pidana khusus, pidana mati itu tidak langsung dilakukan seperti sekarang ini. Tapi pidana mati itu baru akan dilaksanakan bila 'inkracht'nya telah 10 tahun. Jadi bila sekarang dijatuhkan pidana mati, itu ada waktu 10 tahun untuk menilai kembali. Setelah 10 tahun, baru akan diputuskan 'oke pidana mati atau akan berubah' gitu, jadi pidana mati yang tertunda atau pidana mati percobaan," lanjutnya.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pun ikut mengkritisinya. Menanggapi hal itu, Staf Divisi Advokasi KontraS Tioria Pretty mengatakan bahwa hukuman mati bukanlah cara efektif untuk membuat jera para koruptor, sebab tak ada bukti empirik terkait hal itu.

Baca Juga: Diserang Ijazah Latar Belakang Pendidikan Jaksa Agung Burhanuddin, Spiritualis Sebut Waspadai Propaganda

Sehingga menurutnya hukuman mati bukan menunjukkan ketegasan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, dqri awal soal hukuman mati baik itu terhadap korupsi atau tindak pidana lainnya, sejauh ini tidak ada bukti empirik yang dapat membuktikan pemberlakuan pidana mati efektif dalam memberikan efek jera dan menurunkan tingkat kejahatan.

"Kondisi itu didukung dengan masih adanya permasalahan besar dalam menciptakan sistem peradilan yang adil (fair trial) di Indonesia," ujar Pretty.

Pretty mengatakan bahwa pihaknya kerap menemukan berbagai perlakuan tidak adil yang seringkali diterima oleh terpidana mati. Seperti kualitas pendamping hukum yang buruk, kurangnya akses penerjemah yang berkualitas, pengakuan-pengakuan yang terlontar karena adanya paksaan.

"Yang kemudian dijadikan bukti dalam proses persidangan, dan akses terbatas menuju banding, peninjauan kembali dan prosedur grasi. Jadi sekali lagi hukuman mati bukanlah alat untuk menunjukkan ketegasan penegakan hukum," tandasnya.***

Halaman:

Editor: Edward Panggabean


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x