Direktur BNPT Kepada Generasi Muda: Jangan Berdiam Diri Jika Lihat Konten Dukung Paham Intoleransi

- 29 Desember 2020, 03:39 WIB
Romo Franz Magnis Suseno (dalam layar kiri) menjadi Keynote Speaker secara daring dalam diskusi bertajuk "Dialog Rakyat: Toleransi Multi Agama Sebagai Payung Anti Radikalisme" di Selasar.in Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin, 28 Desember 2020.
Romo Franz Magnis Suseno (dalam layar kiri) menjadi Keynote Speaker secara daring dalam diskusi bertajuk "Dialog Rakyat: Toleransi Multi Agama Sebagai Payung Anti Radikalisme" di Selasar.in Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin, 28 Desember 2020. /Arif

BERITA SUBANG - Anak-anak muda dan generasi Milenial harus aktif bersuara (speak up) melakukan kontra narasi melawan maraknya sikap maupun konten yang mendukung paham intoleransi.

Jika paham intoleransi dibiarkan, berpotensi menjadi radikalisme karena sifatnya yang berkembang terus menerus.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Deradikalisasi BNPT Prof. Dr. Irfan Idris, M.A. Ia mengatakan kaum muda di zaman teknologi informasi, jangan hanya berdiam diri, atau tak melakukan apapun jika melihat konten yang mempromosikan intoleransi.

Baca Juga: Terpusat di MK, Hari Ini Buruh Lanjutkan Aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Di zaman teknologi informasi, menurutnya sifat diam atau tak melakukan apa-apa sangat berbahaya karena anak muda sekarang melek informasi sehingga harus terlibat dalam perubahan.

"Jadi harus speak up melalui saluran seperti media sosial dan terus memunculkan ide-ide kreatif dan inovatif," kata Prof Irfan dalam sebuah diskusi online bertajuk Dialog Rakyat: Toleransi Multi Agama Sebagai Payung Anti Radikalisme di Selasar in Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin, 28 Desember 2020.

Ahmad Nabil Bintang, aktivis sekaligus Direktur LSM Komprehensi turut mengomentari hal tersebut.

Baca Juga: Pemerintah Tidak akan Bentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Tewasnya Enam Laskar FPI

"Kami ingin narasi-narasi terbaik berkualitas disebarkan masif untuk melawan penyebaran paham intoleransi yang berujung radikalisme ini," katanya.

Upaya kontra narasi ini, menurutnya harus dilaksanakan berkesinambungan sebagai sebuah literasi dan edukasi sehingga ini merupakan pekerjaan terus menerus.

Jika berhenti sesaat, katanya, dapat menimbulkan masalah baru.

"Kami ingin mengatakan bahwa kesejahteraan dan keadilan sekarang menjadi fokus kita berbangsa dan bernegara. Bukan hal-hal seperti intoleransi dan radikalisme ini," ujarnya.

Direktur Jaringan Moderasi Indonesia Islah Bahrawi mengatakan ide speak up dapat diwujudkan dengan aktif melakukan gerakan intelektual melawan pemikiran radikal.

"Jadi saya katakan begini ya, intoleransi adalah bibit radikalisme yang nantinya akan berubah ke ekstrimisme dan terakhir masuk ke terorisme," tutur Islah.

Baca Juga: Ribuan Pelayat Lepas Kepergian ulama kharismatik Pasuruan Habib Hasan Assegaf

Waspadai Bibit Radikalisme

Bibit radikalisme, kata dia, bisa dengan mudah terlihat jika seseorang berpikir mendevaluasi dan mendegradasi negara.

"Orang-orang seperti ini biasanya enggak nyaman dengan perbedaan. Dia bersikap menghakimi dan mendevaluasi negara sehingga pemikiran ini bisa terus berkembang, misalnya, dipupuk oleh banyaknya informasi hoax," jelasnya.

Direktur Nurcholish Madjid Society, Fachrurozi Majid, mengajak para mahasiswa atau calon-calon akademisi untuk meluruskan narasi-narasi yang salah selama ini.

Baca Juga: Kemenlu RI Gandeng Polisi Diraja Malaysia Usut Pembuat Video Parodi Indonesia Raya

Terutama gelombang informasi di media sosial yang berbahaya karena bisa menyebar pesan-pesan radikal dan berbau teror.

"Narasi agama selalu perdamaian, persahabatan, toleransi, tetapi ada saja yang memotong-motong narasi itu menjadi masalah baru," ujarnya.

Fachrurozi mengatakan media sosial harus menjadi lahan mempertontonkan bagaimana Islam dan agama lainnya bisa menghargai satu sama lain.

Baca Juga: Densus 88 Bongkar Pusat Latihan Jaringan Teroris Di Semarang

"Gelorakan moderasi beragama dan moderasi berpolitik di media sosial. Kita bisa mulai dengan konten-konten edukasi dan mendidik di media sosial sebagai kontra narasi karena pikiran intoleransi ini jangan dianggap perkara sederhana," ujarnya.

Mantan napi terorisme (napiter) Iqbal Husaini melihat salah satu kunci melawan radikalisme adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Memberikan pemahaman kepada anak-anak muda agar terhindar dari konten dan paparan radikalisme bukan perkara mudah di era keterbukaan informasi.

"Sederhananya begini, ketika ada seseorang menganggap negaranya bersalah dan salah, itu bisa jadi bibit radikalisme. Di Papua itu ada masalah separatisme dan itu enggak bisa disebut radikalisme. Papua itu Puncak Jaya saja konflik, lainnya seperti Sorong, Merauke, semua aman. Sementara ada pihak-pihak yang menyebut di Papua itu radikalisme, ini kan pembelokan," ujar Iqbal.

Baca Juga: Wow, Ada Bunker di Rumah Terduga Teroris di Lampung? Begini Penampakannya

Sultan Rivandi dari Presma UIN Jakarta 2019-2020 sepakat dengan ide moderasi pemikiran, terutama di dua hal yakni moderasi berpolitik dan moderasi beragama.

"Saya sepakat dengan moderasi beragama, tapi kita perlu juga moderasi berpolitik. Bagaimana negara mendistribusikan sebuah keadilan, maka keterbukaan pikiran dalam hal ini sangat penting," ujarnya.

"Kemarin kita sempat terpecah karena cebong dan kampret, tetapi akhirnya cebong dan kampret itu hilang setelah 02 (Prabowo-Sandiaga) masuk ke 01 (Jokowi-Ma'ruf Amin) menjalankan (pemerintahan) negara ini bersama-sama," jelasnya.

Halaman:

Editor: Muhamad Al Azhari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x