Wacana Pidana Mati Koruptor, Yenti Garnasih: Bukan Urusan Jaksa Agung, Bagaimana Pinangki!

30 Oktober 2021, 20:39 WIB
Jaksa Agung Burhanuddin /Foto: Puspenkum Kejagung/

BERITA SUBANG - Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengatakan terkait wacana hukuman mati, menurutnya bukanlah kewenangan Jaksa Agung, pasalnya peran Kejaksaan hanya bisa melakukan penuntutan, dan yang memutuskan adalah majelis hakim.

"Kalau pidana mati itu kan urusannya bukan di Jaksa Agung, urusannya di hakimnya. Jaksa hanya menuntut kan, tapi apakah nanti bisa dilaksanakan atau tidak, atau dijatuhkan atau tidak itu tergantung hakim," kata Yenti dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu 30 Oktober 2021.

Jaksa Agung Burhanuddin mewacanakan hukuman mati terhadap koruptor Jiwasraya maupun Asabri. Opsi itu disampaikan mantan Kajati Maluku Utara itu dalam briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis 28 Oktober 2021.

Baca Juga: Burhanuddin Wacanakan Hukuman Mati di Tengah Dugaan Identitas Ganda, Pengamat: Harusnya Sejak Perkara Pinangki

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor itu menjelaskan, pidana mati memiliki sejumlah resiko yang harus diperhitungkan secara matang.

"Kita harus berhitung kalau seandainya uang para koruptor itu di luar negeri, nah itu ada perhitungannya tuh. Artinya kemungkinan kita agak susah meminta bantuan kepada negara lain, tolong rampaskan uang-uang koruptor ini, kecuali negara itu juga menerapkan pidana mati," katanya.

Dia mencontohkan, misalnya Indonesia menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, harta kekayaannya ada di negara Malaysia atau Singapura yang juga menerapkan hukuman mati sebagaimana beberapa negara yang juga demikian.

"kita minta bantuan ke sana itu oke saja," singkatnya.

"Tapi kalau kita menerapkan pidana mati dan harta kekayaan yang disita ini belum selesai proses perampasannya dan kita minta tolong ke negara yang tidak menganut pidana mati biasanya ditolak. Karena nggak bisa, kan negara saya dan negara anda berbeda prinsip karena kami tidak lagi menganut pidana mati, namun negara anda menganut pidana mati'," sambungnya.

Baca Juga: Fast Dukung Putusan MA Cabut PP Nomor 99 Tahun 2012, Tito Hananta: Sudah Cukup Hukuman Pidana dan Sosial

Seharusnya kata dia yang harus dipahami bahwa kasus korupsi tidak hanya pada tindak pidananya saja, namun juga terkait erat dengan penyitaan aset hasil dari tindak pidana korupsinya seoptimal mungkin. Namun, kata dia, jaksa juga harus cermat dalam melakukan penyitaan atau perampasan, sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan.

"Hal itu memang benar-benar harus dilakukan secara transparan kepada masyarakat, yang udah disita itu berapa, gitu. Harus dikaitkan juga dengan proses penyitaannya, karena kan kemarin ada pihak ketiga yang beritikad baik dimenangkan gugatannya," tuturnya.

Jadi lanjut Yenti Garnasih sebaiknya proses penyitaannya harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat, bagaimana sebetulnya proses penyitaan tersebut.

"Jadi jangan kita gebar-geber di proses penyitaannya saja tapi jumlahnya berapa dan apakah betul itu milik tersangka atau dibeli oleh tersangka dengan uang korupsi," ucap Yenti Garnasih.

Baca Juga: Wakil Jaksa Agung Apresiasi Kejari Kampar Bangun Zona Integritas WBK WBBM

Dia menjelaskan jangan seperti penyitaan dalam perkara BLBI, dimana luas lahan yang disita berapa hektar, namun ternyata status tanahnya berbeda.

"Satgas BLBI dengan bangganya bilang ini itu, iya tau, tapi status tanahnya itu tanah apa. Kalau status tanahnya tanah garapan itu jelas dagelan! Menyita tanah tapi ternyata punya pemerintah sendiri. Kita harus mengedukasi masyarakat, mereka tidak tahu terus masih dibohongi. Itu kan nggak boleh juga, nggak bagus lah. Jadi semuanya harus trasparan," ucapnya.

Yenti Garnasih pun mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung Burhanuddin dalam kasus bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari yang masih terdapat ketidakadilan.

"Terkait Pinangki, ya itulah setiap pertanyaan yang seharusnya disadari oleh Kejaksaan Agung dan para penegak hukum yang lain. Jika mereka mengambil langkah-langkah yang 'tidak adil' bahkan karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal. Itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektif," kata dia.

Baca Juga: Raport Merah Jaksa Agung Burhanuddin, Citra Positif Kejagung Dibawah Polri, MAKI Beberkan Perkara Mangkrak

Apalagi menurutnya, Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegakan hukum yang seharusnya bisa menegakkan keadilan.

"Bahkan pejabat-pejabat tertentu menurut KUHP kalau dia melakukan tindak pidana maka harus ada pemberatnya, ini malah seakan-akan meringankan," ungkap Yenti Garnasih.

Dia menilai ucapan Burhanuddin ibarat duri dalam daging, lain disampaikan, lain pula yang terjadi di lapangan, tak pelak ucapan Jaksa Agung Burhanuddin pun kerap jadi cibiran publik.

"Jadi itu seperti duri dalam daging, mau ngomong gini, 'Halah yang kemarin gimana? Nah, sekarang kok ngomong begini,' orang kan jadi mencibir 'Dulu gimana, emang iya gitu?' gitu kan. Atau semakin ketahuan bahwa 'aduh' sekarang galak ya, tapi terhadap korpsnya sendiri yang harusnya diperberat malah enggak gitu. Nah diejek nantinya kan,” ujarnya.

Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti Garnasih mengatakan bahwa yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

"Jadi perlu kerjasama semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi. Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana korupsi secara sitematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," lanjutnya.

Baca Juga: Jaksa Agung Burhanuddin Ancam Jajarannya Cari Keuntungan Pada Kebijakan Keadilan Restoratif, Laporkan!

Sebenarnya lanjut dia kalau jaksa menuntut setinggi-tingginya pidana mati, bisa saja. Tapi kalau bicara jaksa akan menghukum pidana mati, hal itu tidak bener.

"Nggak mungkin mereka menghukum kan? Jaksa hanya bisa menuntut setinggi-tingginya," kata Yenti.

Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan.

"Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP.

Yenti menyebut jika RUU KUHP disahkan, nantinya mekanisme hukuman mati akan berubah.

"Pidana mati itu merupakan pidana khusus, pidana mati itu tidak langsung dilakukan seperti sekarang ini. Tapi pidana mati itu baru akan dilaksanakan bila 'inkracht'nya telah 10 tahun. Jadi bila sekarang dijatuhkan pidana mati, itu ada waktu 10 tahun untuk menilai kembali. Setelah 10 tahun, baru akan diputuskan 'oke pidana mati atau akan berubah' gitu, jadi pidana mati yang tertunda atau pidana mati percobaan," lanjutnya.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pun ikut mengkritisinya. Menanggapi hal itu, Staf Divisi Advokasi KontraS Tioria Pretty mengatakan bahwa hukuman mati bukanlah cara efektif untuk membuat jera para koruptor, sebab tak ada bukti empirik terkait hal itu.

Baca Juga: Diserang Ijazah Latar Belakang Pendidikan Jaksa Agung Burhanuddin, Spiritualis Sebut Waspadai Propaganda

Sehingga menurutnya hukuman mati bukan menunjukkan ketegasan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, dqri awal soal hukuman mati baik itu terhadap korupsi atau tindak pidana lainnya, sejauh ini tidak ada bukti empirik yang dapat membuktikan pemberlakuan pidana mati efektif dalam memberikan efek jera dan menurunkan tingkat kejahatan.

"Kondisi itu didukung dengan masih adanya permasalahan besar dalam menciptakan sistem peradilan yang adil (fair trial) di Indonesia," ujar Pretty.

Pretty mengatakan bahwa pihaknya kerap menemukan berbagai perlakuan tidak adil yang seringkali diterima oleh terpidana mati. Seperti kualitas pendamping hukum yang buruk, kurangnya akses penerjemah yang berkualitas, pengakuan-pengakuan yang terlontar karena adanya paksaan.

"Yang kemudian dijadikan bukti dalam proses persidangan, dan akses terbatas menuju banding, peninjauan kembali dan prosedur grasi. Jadi sekali lagi hukuman mati bukanlah alat untuk menunjukkan ketegasan penegakan hukum," tandasnya.***

Editor: Edward Panggabean

Tags

Terkini

Terpopuler