Tolak Pendirian Izin Gereja Termasuk HKBP, Cilegon Masuk Peringkat Anjlok Indeks Kota Toleran

- 18 September 2022, 08:35 WIB
Gereja HKBP Saat pertama Didirikan
Gereja HKBP Saat pertama Didirikan /

 

BERITA SUBANG-  Kota Cilegon, yang dikenal sebagai Kota Industri Baja,  jadi sorotan dalam sebulan terakhir terkait isu penolakan pendirian rumah ibadah.

Rencana pembangunan gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kec. Grogol, Kota Cilegon mendapatkan penolakan keras dari sejumlah elemen masyarakat hingga perangkat Daerah Kota Cilegon.

Tak tangggung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahkan turun gunung.

Menag menegaskan jika Walikota Kota Cilegon bersikukuh tak mengeluarkan izin, maka dirinya akan secara langsung mendatangi Walikota Cilegon.

Baca Juga: Transaksi Rp560 Miliar Mengalir ke Kasino Luar Negeri, Lukas Enembe Masuk Konsorsium 303?

Baca Juga: Cegah Polarisasi Agama Jelang Pemilu 2024, Kemenag Luncurkan Aplikasi UstadzKita

Masyarakat Banten sebenarnya punya pengalaman kehidupan bermasyarakat yang ramah terhadap pemeluk agama-agama lain, terutama pada masa kejayaan Kesultanan Banten 1636-1682.

Kapel dan klenteng Cina diizinkan oleh Sultan Banten dibangun karena itu merupakan hak dasar mereka. Sikap-sikap inklusif tersebut mengesankan banyak orang Eropa.

Banyak Pastur Katolik dari Spanyol memilih singgah di Banten pada 1650-1682 daripada di markas VOC di Batavia.

Penolakan yang dilakukan kaum intoleran di Cilegon hari ini sama sekali jauh dari teladan yang dicontohkan langsung oleh Sultan Banten. Lantas, teladan siapa yang mereka ikuti?

Baca Juga: GP Ansor: Gugatan PB Al-Khairiyah ke Menag Yaqut dan HKBP Mengada ada

Baca Juga: Dana Mengalir ke Kasino, Mahfud MD Sebut Lukas Enembe Punya Manajer Pencucian Uang

Menurut Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Wawan Wahyudin seperti dikutip dari situs Kemenag.go.id,  catatan sejarah merekam banyak penolakan pendirian tempat ibadah agama selain Islam di Cilegon. Garis terjauh yang bisa digali terjadi pada tahun 1994.

Mengutip makalah Masykur dari IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, terjadi beberapa tindakan anarkis terhadap tempat ibadah umat Kristen. Setidaknya ada dua kejadian tercatat.

Pertama pengerusakan bangunan milik warga jemaat HKBP di kompleks perumahan PCI (Cilegon State Indah) Cilegon, yang dipakai untuk Sekolah Minggu anak-anak pada tanggal 10 April lalu. Kedua, pembongkaran gereja Advent di kota Cilegon.

Hingga kini, tidak ada satupun tempat ibadah umat non Islam berdiri di Cilegon. Data resmi negara tahun 2019 mencatat ada 382 masjid dan 287 musalla di Cilegon, tanpa ada satu pun gereja, pura, maupun vihara tercatat.

Baca Juga: Menag Yaqut Perintahkan Walikota Cilegon Terbitkan Izin Pembangunan Gereja HKBP

Padahal, jumlah warga non-Muslim di tahun yang sama cukup banyal 6.740 warga Kristen, 1.743 warga Katolik, 215 warga Hindu, 215 warga Buddha, dan 7 warga Konghucu.

Dan tentunya mereka semua tentu butuh tempat ibadah.

Kota Cilegon selalu masuk deretan peringkat anjlok dalam riset Indeks Kota Toleran yang diterbitkan oleh Setara Institute selama lima kali.

Cilegon masuk nomor 15 dari bawah pada 2015, nomor empat dari bawah pada 2017 dan 2018, nomor delapan dari bawah pada 2020, dan nomor tiga dari bawah pada 2021 lalu.

Riset tersebut digarap berbasis kebijakan pemerintah dan ucapan pejabat setempat untuk menjadi tolok ukur toleran atau tidaknya sebuah kota.

Pada 7 September 2022 di Kantor DPRD Kota Cilegon dan Kantor Walikota Cilegon telah berlangsung Audiensi oleh Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon dan Lembaga Bantuan Hukum(LBH)

Baca Juga: Menag Yaqut Ingatkan Pemerintah Daerah Tidak Hambat Izin Pendirian Gereja

Acara itu dihadiri tokoh agama, tokoh masyarakat, Ulama, Kiyai, LSM dan OKP dengan Ketua DPRD Kota Cilegon dan Walikota Cilegon.

Audiensi ini diikuti oleh sekitar 100 orang diantaranya Isro Mi'jraj, Ketua DPRD Kota Cilegon, Hasbi Sidik, AKBP Eko Tjahjo Untoro, Kapolres Cilegon, KH Fathul Adim, tokoh Agama Kesultanan Banten serta beberapa lainnya.

Pertemuan tersebut menghasilkan petisi penolakan yang ditanda tangani di di kain putih.

 Penolakan itu ditandatangani Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, Ketua DPRD, Wakil Ketua 1 dan Wakil Ketua 2 DPRD Kota Cilegon, Sesepuh Ulama Banten Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Ulama, LSM dan OKP.

Baca Juga: Cek Fakta, Jokowi Siap Dampingi Ganjar Jadi Wakil Presiden di Pilkada 2024

Dasar yang diklaim oleh segenap elemen masyarakat Cilegon tersebut adalah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189 / Huk/ SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975.

Regulasi ini konon mengatur Tentang Penutupan Gereja / Tempat Jemaah Bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang.

Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon menjadikan SK Bupati ini sebagai dokumen yuridis yang menjadi landasan hukum aturan yang mengatur pendirian rumah ibadah selain masjid di wilayah Kabupaten Serang yang sekarang menjadi Kota Cilegon.

Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon juga menuduh Panitia Pembangunan Rumah Ibadah HKBP Maranatha telah memberikan persayaratan-persyaratan pendirian gereja yang tidak sah dan melawan hukum, yaitu dengan melakukan tindakan pemalsuan dukungan berupa tanda tangan masyarakat Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Gerem, Kec. Grogol Kota Cilegon.

Baca Juga: Kamaruddin Endus Ferdy Sambo lobi Istana Guna Ringankan Kasus Pembunuhan

Klarifikasi HKBP

Sementara itu, di sisi lain, Panitia Pembangunan Rumah Ibadah HKBP Maranatha mengklaim telah mendapatkan validasi 112 jemaat dari total 3.903 jiwa atau 856 KK yang tersebar di 8 Kecamatan Kota Cilegon.

Kemudian, Panitia Pembangunan Rumah Ibadah HKBP Maranatha juga telah meminta dukungan dari 70 warga yang berada di lingkungan Kelurahan Gerem.

Pihak HKBP juga telah mengajukan permohonan validasi domisili sejak Tanggal 21 April 2022 kepada Lurah Gerem, Rahmadi.

Sayangnya,  Lurah Gerem tidak berkenan memberikan validasi atau pengesahan 70 dukungan warga dengan alasan tidak jelas.

Hak beragama merupakan hak yang melekat secara kodrati yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Baca Juga: Isteri Ungkap Kebiasaan Bejat Kuat Maruf Doyan ke Pelacuran Hingga Jarang Nafkahi Keluarga

Hapus Perda Penghambat

Ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM, Oce Madril, M.A., menyebutkan suatu Perda layak dicabut apabila tidak memiliki kesesuaian lagi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Tidak hanya itu, pembatalan Perda juga dilakukan karena Perda-perda yang ada sudah tidak relevan dengan era sekarang dan juga tidak ada lagi objek yang diatur.

Pencabutan Perda juga dapat dilakukan apabila Perda yang ada bersifat menghambat kegiatan investasi dan pembangunan.

Misalnya saja Perda-perda yang mengganggu kegiatan masuknya investasi seperti perijinan yang berbelit-belit dapat dilakukan pembatalan. Perda juga bisa dicabut jika bersifat SARA.

 Baca Juga: Sambo Bakal Dipenjara Seumur Hidup, Staf Ahli Polri: Kalau Pidana Ringan, Rusak Nama Polri

Tindakan yang dilakukan Lurah Gerem, Rahmadi yang tidak berkenan memberikan validasi atau pengesahan 70 dukungan warga dengan alasan tidak jelas hingga tindakan jajaran Pemkot Cilegon yang turut menandatangani petisi penolakan pembangunan gereja di Cilegon merupakan tindakan melawan hukum.

Dengan sendirinya, petisi penolakan pembangunan gereja di Cilegon yang digagas Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon beserta seluruh elemen masyarakat dan ditandatangani jajaran Pemkot Cilegon memvalidasi Pidato Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahwa Cilegon adalah daerah yang intoleran.

Syarat Pendirian Gereja

Negara menjamin kebebasan setiap warga negara dalam memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Selain UUD 1945, untuk menjamin hal ini, pemerintah juga telah menerbitkan berbagai aturan. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan bersama ini dikenal juga dengan SKB 2 Menteri tentang rumah ibadah.

Baca Juga: KSP: Percepatan Pembangunan Destinasi Pariwisata Super Prioritas Danau Toba Perlu Komitmen Pemda

Dalam peraturan ini, pendirian rumah ibadah harus didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk.

Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Selain itu, ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah, yaitu:

  1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.
  2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
  3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
  4. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

 Baca Juga: Dorong Ikut Bursa Calon Presiden 2024, Moeldoko Bilang Memang Menggoda, Tapi Pilih Ini

Jika persyaratan administratif terpenuhi sedangkan persyaratan teknis bangunan belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

Persyaratan ini diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadah. Dalam peraturan, bupati/walikota wajib memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan.

Surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189 / Huk/ SK/1975, Tertanggal 20 Maret 1975 yang dipegang teguh oleh Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon sangat jelas bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.***

 

Dapatkan berita terkini, informasi terbaru dan kabar terkini dari BeritaSubang.com melalui Google News.

 

Editor: Tommy MI Pardede


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah