Jumlah Kematian Pelaut Indonesia Cukup Tinggi, LPSK Perlu Perbaikan Mekanisme Rekrutmen ABK

- 7 Februari 2021, 12:42 WIB
Logo LPSK
Logo LPSK /lpsk.go.id
 
BERITA SUBANG - Perbaikan mekanisme rekrutmen dan pengiriman para pelaut Indonesia atau anak buah kapal (ABK) sudah mendesak, menyusul jumlah kematian yang cukup tinggi, bahkan kerap menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
 
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo menyebutkan jumlah permohonan perlindungan pelaut Indonesia ke lembaganya sejak tahun 2020 lebih tinggi dari tahun sebelumnya 2019. Hal ini disampaikannya menyikapi data jumlah kematian pelaut Indonesia sepanjang tahun 2020 yang dilansir Destructive Fishing Watch (DFW).
 
 
Sebelumnya, anggota Komisi IV DPRRI, Slamet, menyoroti tentang lemahnya perlindungan para pelaut Indonesia (ABK) hal ini disebabkan karena regulasinya bersifat parsial, belum mengatur perlindungan dari hulu sampai hilir.
 
Sependapat dengan Slamet, Antonius mengatakan bahwa pembenahan dari hulu bisa dilakukan dengan menerapkan mekanisme pemberangkatan satu pintu. Maksudnya sudah waktunya perbaikan mekanisme rekrutmen bagi calon pelaut Indonesia.
 
 
“Agar (pemberangkatan) satu pintu, bisa dibentuk desk bersama antara Kemenaker, Kemhub, Kemdagri dan Pemda. Jika perlu keluarkan SKB (surat keputusan bersama) tiga Menteri,” ujar Antonius dalam keterangannya yang diterima beritasubang.pikiran-rakyat.com, Jakarta, Minggu, 7 Februari 2021.
 
Selain itu diperlukan pendataan dan pembinaan ship manning agency. Maksudnya, agency harus dibina dan diawasi agar hanya memberangkatan pelaut Indonesia atau ABK yang tersertifikasi, sediakan kontrak kerja yang jelas, asuransi, dan documen adminstrasi lainnya.
 
 
"Jika ada ship manning agency yang terlibat TPPO perlu dibina,  jika perlu dicabut izin operasionalnya. Data ship manning agency yang terindikasi terlibat TPPO, antara lain ada di LPSK dan pengadilan” ungkap Antonius.
 
Selain itu,  Antonius menghimbau persoalan pemenuhan hak pelaut Indonesia yang menjadi korban TPPO, khususnya restitusi atau ganti kerugian dari pelaku kepada korban.
 
“(Restitusi) ini harus menjadi perhatian semua stakeholder,” singkatnya.
 
 
Sebab, lanjut Antonius, dengan restitusi itu korban bisa mendapatkan hak-hak ketenagakerjaannya karena salah satu komponen dalam perhitungan restitusi adalah gaji yang belum dibayarkan bagi pelaut Indonesia.
 
Untuk itu, regulasi tentang Restitusi harus dilakukan perubahan. “Pasal 50 (4) UU No. 21/2007 tentang restitusi dapat diganti dengan pidana kurungan, harus diubah,” katanya.
 
Tidak itu saja, penyusunan aturan pelaksana tentang penyitaan dan pelelangan kekayaan pelaku TPPO untuk membayar restitusi harus segera diselesaikan.
 
 “Dalam konteks penegakan hukum, perlu mendorong proses hukum terhadap korporasi yang terbukti terlibat TPPO,” ujarnya.
 
 
Catatan LPSK, pada tahun 2020, persentase restitusi bagi korban tindak pidana relatif kecil. Dari total perhitungan restitusi yang dilakukan LPSK selama tahun 2020 sebesar Rp7.909.659.387, yang diputus dan dikabulkan hakim berjumlah Rp1.345.849.964. Sedangkan yang dibayarkan pelaku hanya berjumlah Rp101.714.000.***
 

Editor: Edward Panggabean


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x