Pengamat: Kalau KUHAP Kalah Satu Sakti dengan Putri Candrawathi, Sebaiknya Direvisi

- 3 September 2022, 08:42 WIB
Pengamat: Kalau KUHAP Kalah Satu Sakti dengan Putri Candrawathi Sebaiknya Direvisi
Pengamat: Kalau KUHAP Kalah Satu Sakti dengan Putri Candrawathi Sebaiknya Direvisi /

 

BERITA SUBANG - Keputusan Bareskrim Polri tidak menahan Istri mantan Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi yang dijerat pasal pembunuhan berencana menimbulkan polemik di masyarakat.

Hal ini mengingat atas kasus yang menjeratnya, Putri Candrawathi terancam hukuman mati.

Padahal, dalam sejumlah kasus seperti ini, para perempuan ang menjadi tersangka harus membawa anaknya ke tempat penahanan.

 Baca Juga: Tuntaskan Isu Perselingkuhan, Netizen Sarankan Anak Batita Putri Candrawathi Tes DNA

Baca Juga: Survei Tunjukkan, Masyarakat Ingin Ferdy Sambo Dihukum Mati

Menanggapi polemik ini, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan, terdapat sejumlah persoalan terkait hukum penahanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Untuk itu, ICJR menyarankan agar KUHAP segera direvisi.

"Sudahlah kita harusnya bisa bersepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel, salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum utamanya penyidik," kata Erasmus, Jumat 2 September 2022.

ICJR membeberkan sejumlah persoalan terkait aturan penahanan yang diatur KUHAP.

Baca Juga: Komnas HAM Asyik Main Akrobat di Tengah Penuntasan Kasus Pembunuhan Brigadir J

Pertama, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya digantungkan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik.

Padahal, hal tersebut membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel.

Ditegaskan, Pasal 9 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan, orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman.

Baca Juga: Jefri Nichol Ralat Pernyataan Soal Anak Ferdy Sambo Ribut di Kelab Malam

Otoritas ini menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan.

"Sehingga KUHAP harus direvisi memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang betugas salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata,” kata Erasmus.

Kedua, KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat dapat dilakukannya penahanan.

Baca Juga: Dikaitkan dengan Putri Candrawathi, Angelina Sondakh Buka Suara

Padahal, kata Erasmus, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, yang berbasis stereotype ataupun alasan yang diulang-ulang.

Perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri ataupun menghalangi penyidikan.

"Hal ini tidak terjadi dalam praktik di Indonesia, jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang.

 Baca Juga: Mahfud MD: Rekonstruksi Harus Mampu Ungkap Dugaan Pembunuhan Berencana Brigadir J

Pendekatan yang digunakan oleh penyidik dalam menentukan penahanan ini adalah dengan pendekatan kewenangan, terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak diperlukan adanya uraian lagi.

Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel," papar Erasmus.

Ketiga, KUHAP tidak mengakomodir pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya.

Erasmus menyatakan, seharusnya terdapat penegakan dalam KUHAP bahwa otoritas yang melakukan penahanan harus terlepas dari aparat penegak hukum, sehingga penahanan di kepolisian dan kejaksaan harus dihapuskan.

Baca Juga: Pengacara Bersahaja Tommy Sihotang Tutup Usia

Harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan non-rutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia.

"Dan juga untuk tersangka atau terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan," katanya.

Dalam kesempatan ini, ICJR menekankan, penahanan terhadap seorang tersangka bukan merupakan keharusan, bukan suatu kewajiban.

Dikatakan, tidak mesti orang yang menjadi tersangka harus ditahan. Penahanan hanya apabila kepentingan pemeriksaan dibutuhkan, misalnya jika tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat.

"Selain itu, untuk tersangka perempuan dengan kebutuhan spesifik berbasis gender harus dipertimbangkan, misalnya apakah perempuan tersebut memiliki beban pengasuhan, menjadi pengasuh utama ataupun sedang hamil harus dihindarkan dari penahanan. Hal ini berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak," kata Erasmus.

Dapatkan berita terkini, informasi terbaru dan kabar terkini dari BeritaSubang.com melalui Google News.

***

 

Editor: Tommy MI Pardede


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x