Komnas Perempuan Dorong MA Beri Hukuman Pinangki Seperti Kasus Angelina Sondakh

- 18 Juni 2021, 19:33 WIB
Jaksa Pinangki saat masih diperiksa penyidik Kejagung.
Jaksa Pinangki saat masih diperiksa penyidik Kejagung. /Puspenkum Kejagung./

 

BERITA SUBANG - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sesalkan pengurangan hukuman terhadap Pinangki Sirna Malasari oleh Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara. 

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan keputusan ini memiliki masalah yang lebih mendalam dalam membahas tentang pengalaman dan keadilan gender dan dalam sistem pemidanaan secara lebih luas.

"Posisi korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tentunya perlu menjadi cara hakim untuk memeriksa kasus-kasus korupsi," kata Aminah dalam keterangannya, Jakarta, Jumat, 18 Juni 2021.

Dalam hal ini, putusan pengadilan tentang pemidanaan pelaku merupakan penegasan pada tingkat seriusnya tindak pidana korupsi tersebut.

Penegasan ini penting dalam mendukung upaya pencegahan tidak berulang, menghadirkan keadilan, rehabilitasi dan juga melindungi masyarakat luas.

Selain derajat keseriusan tindak pidana, hakim juga dapat mempertimbangkan beberapa faktor dalam perumusan putusan pemidanaan, baik untuk memberatkan atau meringankan hukuman. Hal proporsional ini agar hukuman yang diberikan juga dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan pemidaan itu. 

"Hanya saja, sampai ada pedoman yang sekarang tidak dapat dijalankan oleh hakim dalam perumusan hukuman yang akan dijatuhkan itu. sebagai akibat, ada disparasi yang besar dari putusan untuk tindak pidana sejenis dalam kondisi yang serupa. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan pada akuntabilitas proses hukum yang dapat menyebabkan kepercayaan pada institusi penegak hukum," tuturnya.

Baca Juga: Putusan Banding Pinangki di Discont 60 persen dari 10 Tahun Jadi 4 Tahun, ICW: Keterlaluan

Sementara komisioner lainnya, Rainy M. Hutabarat menambahkan, terkait pengurangan hukuman terhadap Pinangki, ada kebutuhan untuk membaca secara utuh dan tidak menyebutkan alasan terkait peran gender sebagai ibu. 

"Pertimbangan lain yang juga disebutkan adalah penilaian tinggi bahwa “perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab”. Pertimbangan ini perlu dicermati lebih jauh dan dapat menjadi pintu masuk untuk membuka pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus ini," ujar Rainy.

Terkait pertimbangan berbasis peran gender, lanjut dia, ada kebutuhan untuk memperkuat pemahaman mengenai kesetaran dan keadilan substansif yang menjadi kerangka pikir dalam Peraturan Mahkamah Agung 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Yang Berhadapan Hukum (PBH).

"Dalam peraturan ini Hakim dalam pemeriksaan perkara baik tingkat pertama, banding maupun kasasi perlu mempertimbangkan kesetaraan gender dan mewujudkan prinsip non-diskriminasi berbasis gender," ucapnya.

Kata dia, bahwa sampai sekarang nomor putusan juga masih menggunakan pertimbangan peran gender baik pada dakwaan laki-laki maupun perempuan. Dengan alasan adanya anggota keluarga yang tergantung pada terpidana dan posisi terdakwa sebagai tulang punggung atau pencari nafkah utama, misalnya, ada hukuman yang meringankan pelaku perkosaan. 

"Hal yang sama dicatat pada kasus Pinangki, dimana kondisinya sebagai seorang ibu dari balita berusia 4 tahun dijadikan salah satu pertimbangan alasan yang meringankan," ungkapnya.

Baca Juga: Tok, Pinangki Divonis 10 Tahun Penjara

Dampak sosial budaya dari pemidanaan, termasuk kesejahteraan keluarga dan tumbuh kembang anak dari terpidana, tentunya perlu mendapatkan perhatian serius. Namun, solusi yang diambil tentunya tidak boleh mengurangi kemampuan pemindaan dari pencapaian tujuan pemidaan itu sendiri.

Karenanya, solusi atas dampak sosial budaya tidak melulu berupa pengurangan sanksi. Program pengentasan kemiskinan dapat menjadi salah satu titik masuk penyikapan persoalan.

Kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa, dan bahwa ada tindakan lain yang dapat dilakukan untuk juga mengurangi dampak sosial budaya dari pemidanaan terhadap terpidana, atas putusan kasus Pinangki Komnas Perempuan merekomendasikan Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum Kasasi. 

Sebagai contoh dalam kasus korupsi oleh Angelina Sondakh, seorang perempuan anggota legislatif, Mahkamah Agung justru memperberat hukumannya dari 4, 5 tahun menjadi 12 tahun penjara dan tambahan pidana senilai 40 milyar (21 November 2013).

Upaya kasasi pada kasus Pinangki diharapkan dapat mengurangi disparitas hukuman, yang dapat berkontribusi pada penguatan kepercayaan pada institusi hukum dan negara pada umumnya dalam upaya pemberantasan pidana korupsi.

Komnas Perempuan juga mendorong Mahkamah Agung untuk menyusun pertimbangan hakim, baik faktor-faktor pemberat maupun yang meringankan hukuman.

Baca Juga: Jaksa Pinangki Sesali Perbuatannya, JPU Hanya Tuntut 4 Tahun Penjara

Pedoman ini penting terkait faktor kondisi pribadi dengan memperhatikan kerentanan-kerentanan khusus yang dihadapinya terutama dalam hubungan sosial, termasuk gender. 

Dalam pedoman ini, dapat diatur pula pada kasus-kasus mana pertimbangan itu dapat dilakukan dan sampai sejauh mana hukuman dapat diperingan atas dasar pertimbangan tersebut.

Pedoman ini diharapkan dapat mengurangi diparitas putusan dan sebaliknya, memperkuat akuntabilitas pengadilan demi tegaknya keadilan dan negara hukum Indonesia.***

Editor: Edward Panggabean


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah