Siapa Dibelakang Muslim Pro, Aplikasi yang Dituduh Jual Data 98 Juta Umat Muslim ke Militer AS

- 18 November 2020, 05:01 WIB
Ilustrasi Muslim Pro
Ilustrasi Muslim Pro /Screenshot via Google App Store/

Akan tetapi, kala itu Indonesia belum menjadi pasar yang menjanjikan karena pada awal 2010-an, pengguna smartphone di masih terbatas.

Apple, perusahaan gadget terbesar di dunia baru beberapa tahun meluncurkan App Store di iPhone.

Uniknya, di tahun-tahun tersebut, pengunduh terbanyak Muslim Pro justru di negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris dan Prancis, yang juga memiliki komunitas muslim.

Bitsmedia kemudian mengembangkan aplikasi untuk Android sehingga layanannya dapat dinikmati di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, dan India, yang mempunya populasi umat Muslim yang besar.

Perlahan, jumlah pengguna Muslim Pro mulai meningkat. Jika pada 2015 aplikasi itu hanya menyentuh level 20 juta download, dua tahun kemudian penggunanya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 45 juta download.

Sempat diwawancara Tech in Asia, Mace mengatakan kredibilitasnya yang dibangun selama bertahun-tahun adalah sesuatu yang "sangat sulut untuk didapat."

Sayangnya semua kredibilitasnya kini menjadi pertanyaan besar setelah laporan Vice, yang menyebutkan tentang bagaimana Muslim Pro, secara teknis menjual datanya ke militer AS.

Dalam laporannya, disebutkan bahwa militer AS mendapatkan data dari sebuah perusahaan bernama Babel Street yang menciptakan produk bernama Locate XUS Special Operations Command (USSOCOM), yakni sebuah cabang militer yang bertugas sebagai anti-terorisme, kontra-pemberontakan dan pengintaian khusus.

Dilaporkan, Babel Street membeli akses ke Locate X untuk membantu operasi pasukan khusus di luar negeri.

Lalu ada juga aliran data ke sebuah perusahaan bernama X-Mode, yang dituduh memperoleh data lokasi langsung dari aplikasi, untuk kemudian dijual kepada kontraktor dan ekstensinya, termasuk militer AS.

Tentu saja laporan ini sontak membuat marah para pendukung perlindungan data pribadi dan privasi. Tetapi perusahaan data lokasi dan mitranya tetap bersikeras bahwa pergerakan orang di-anonimkan, dalam artian tidak akan dapat terlacak identitasnya.

Kontroversi lainnya adalah, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anonimitas itu dapat dengan mudahnya dibatalkan, terutama ketika menyangkut data lokasi yang terkait erat dengan aktivitas di setiap individu yang dipantau.

Halaman:

Editor: Muhamad Al Azhari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x