Siapa Dibelakang Muslim Pro, Aplikasi yang Dituduh Jual Data 98 Juta Umat Muslim ke Militer AS

- 18 November 2020, 05:01 WIB
Ilustrasi Muslim Pro
Ilustrasi Muslim Pro /Screenshot via Google App Store/

BERITA SUBANG - Militer Amerika Serikat diberitakan membeli data lokasi jutaan pengguna Muslim Pro, sebuah aplikasi yang dibuat oleh Bitsmedia Pte Ltd, perusahaan teknologi asal Singapura.

Seperti diberitakan Vice.com pada Senin, 16 November 2020, aplikasi yang membantu mengingat waktu shalat yang juga menyajikan 30 juz Al Quran lengkap dengan tulisan Arab, dituduh menjual datanya kepada iliter AS. 

Disebutkan dalam laporan itu, Muslim Pro, yang telah didownload sebanyak 98 juta kali di ponsel Android dan iPhone, hanya satu dari ratusan aplikasi smartphone yang dituduh menghasilkan uang dengan menjual data lokasi pengguna ke pihak ketiga. 

Dilansir dari artikel Tech in Asia yang dimuat pada situs Bitsmedia, aplikasi Muslim Pro didirikan oleh seseorang bernama Erwan Mace, pria yang lahir di Prancis, kemudian pindah ke Singapura saat usia 14 tahun.

 Erwan Mace (kiri)
Erwan Mace (kiri)


Erwan, selain mendirikan Bitsmedia, ternyata pernah bekerja sebagai CTO Soundbuzz di Singapura. Perusahaan ini diakuisisi oleh Motorola dan ditutup 18 bulan setelahnya.

Erwan pun pernah menjadi konsultan teknis di Akamai di Paris, kemudian menjabat CTO di Vivendi Mile Entertainment Paris, sebelum menjadi Developer Relation untuk Google Asia Tenggara, dan lainnya.

Berdiri sejak April 2008, Muslim Pro cepat menjadi aplikasi populer di kalangan Muslim dan di 2010, Mace melihat ada bisnis yang menjanjikan dari Muslim Pro.

Tentu saja, Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, rumah bagi 12,7 persen populasi muslim dunia, atau sekitar 225 juta penganut agama Islam.

Mace pun mulai melakukan survei kecil-kecilan, ia mulai bertanya tentang apa kebutuhan saja yang belum terpenuhi bagi umat Muslim. 

Bila Ramadhan tiba, Mace melihat banyak teman Muslimnya bertanya, kapan tepatnya jam berbuka puasa dan waktu imsak. Dari situ ia mulai berfikir bagaimana cara agar lebih mudah memantau jadwal sahur, dan berbuka dalam satu aplikasi.

Ternyata, fungsi semacam itu cepat populer dikalangan Muslim. Awalnya Mace dan timnya membuat penghitung waktu shalat.

Akan tetapi, kala itu Indonesia belum menjadi pasar yang menjanjikan karena pada awal 2010-an, pengguna smartphone di masih terbatas.

Apple, perusahaan gadget terbesar di dunia baru beberapa tahun meluncurkan App Store di iPhone.

Uniknya, di tahun-tahun tersebut, pengunduh terbanyak Muslim Pro justru di negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris dan Prancis, yang juga memiliki komunitas muslim.

Bitsmedia kemudian mengembangkan aplikasi untuk Android sehingga layanannya dapat dinikmati di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, dan India, yang mempunya populasi umat Muslim yang besar.

Perlahan, jumlah pengguna Muslim Pro mulai meningkat. Jika pada 2015 aplikasi itu hanya menyentuh level 20 juta download, dua tahun kemudian penggunanya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 45 juta download.

Sempat diwawancara Tech in Asia, Mace mengatakan kredibilitasnya yang dibangun selama bertahun-tahun adalah sesuatu yang "sangat sulut untuk didapat."

Sayangnya semua kredibilitasnya kini menjadi pertanyaan besar setelah laporan Vice, yang menyebutkan tentang bagaimana Muslim Pro, secara teknis menjual datanya ke militer AS.

Dalam laporannya, disebutkan bahwa militer AS mendapatkan data dari sebuah perusahaan bernama Babel Street yang menciptakan produk bernama Locate XUS Special Operations Command (USSOCOM), yakni sebuah cabang militer yang bertugas sebagai anti-terorisme, kontra-pemberontakan dan pengintaian khusus.

Dilaporkan, Babel Street membeli akses ke Locate X untuk membantu operasi pasukan khusus di luar negeri.

Lalu ada juga aliran data ke sebuah perusahaan bernama X-Mode, yang dituduh memperoleh data lokasi langsung dari aplikasi, untuk kemudian dijual kepada kontraktor dan ekstensinya, termasuk militer AS.

Tentu saja laporan ini sontak membuat marah para pendukung perlindungan data pribadi dan privasi. Tetapi perusahaan data lokasi dan mitranya tetap bersikeras bahwa pergerakan orang di-anonimkan, dalam artian tidak akan dapat terlacak identitasnya.

Kontroversi lainnya adalah, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anonimitas itu dapat dengan mudahnya dibatalkan, terutama ketika menyangkut data lokasi yang terkait erat dengan aktivitas di setiap individu yang dipantau.

Editor: Muhamad Al Azhari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x