Pada 9 April 2001, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai libur fakultatif atau libur yang berlaku bagi mereka yang merayakannya. Imlek kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri di tahun 2003.
Gus Dur wafat di usia 69 tahun pada 30 Desember 2009. Namun hingga saat ini, sosok Gus Dur akan selalu dikenang oleh kalangan Tionghoa sebagai sosok yang berjasa.
Diketahui, ada papan arwah atau sinci dengan nama Gus Dur di kawasan Pecinan Kota Semarang. Tepatnya, di gedung Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma, Gang Pinggir, Kawasan Pecinan Semarang.
Baca Juga: Keberuntungan Shio Macan Air di Tahun Baru Imlek
Pada papan arwah tersebut, tertulis "KH Abdurrahman Wahid”. Terdapat pula kalimat Cina yang memiliki arti "Bapak Tionghoa Indonesia" pada papan arwah Gus Dur.
"Gus Dur amat dihormati di kalangan Tionghoa di Indonesia. Yang telah melindungi minoritas, memberikan kebebasan. Jadi ini diletakkan di sini sebagai wujud penghormatan,” kata Haryanto Halim, ketua altar Rasa Dharma Semarang, pada Januari 2020 lalu, sebagaimana dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Kepedulian Gus Dur terhadap masyarakat keturunan Tionghoa mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika.
Semboyan ini menggambarkan bagaimana Indonesia terdiri dari masyarakat beragam budaya, agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Terlepas dari perbedaan tersebut, masyarakat Indonesia namun tetap dalam satu kesatuan.***