BERITA SUBANG - Pada tanggal 21 Mei 1998, atau tepatnya 23 tahun silam, Presiden Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun di Indonesia, menyatakan mundur dari tampuk kekuasaan, yang kemudian hari ini diperingati sebagai Hari Peringatan Reformasi.
Tumbangnya rezim orde baru di Indonesia memberi ruang kepada beberapa penerus Presiden Suharto untuk memimpin negara berpopulasi terbesar ke-empat di dunia ini.
Memperingati 23 tahun reformasi di Indonesia, Heru Subagia Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Cirebon, yang juga mengklaim sebagai 'saksi hidup' sejarah pergerakan reformasi 1998, menuliskan opini panjang yang dikirimkan kepada Berita Subang Sabtu, 22 Mei 2021.
"Biaya politik sangat mahal paska reformasi digulirkan untuk bangsa ini. Sejarah perjalanan bangsa ini harus mengalami pergolakan politik dalam negeri yang sangat panas," demikian Heru membuka artikel panjangnya.
Baca Juga: Layanan Hotline 110, Layanan Cepat Aduan Masyarakat Diresmikan Kapolri, Didampingi Panglima TNI
"Tahun 1998 adalah sejarah baru yang diukir oleh semua komponen negeri ini dengan berakhirnya rezim otoriter dengan tumbangnya orde baru di bawah kekuasaan Soeharto. Prestasi gemilang dan kemenangan dari kaum reformis yang dipelopori Amien Rais berdampak luas dan dalam sendi-sendii kehidupan bernegara dan berbangsa," tulis Heru.
"Dukungan semangat reformasi masyarakat, mahasiswa dan segenap masyarakat Indonesia tumpah ruah dan mampu mendobrak rezim Soeharto yang bercokol dan berkuasa selama lebih dari 30 tahun."
Ketua DPD PAN Cirebon tersebut menambahkan, reformasi harus dibayar mahal oleh bangsa Indonesia dengan terjadinya pergolakan dan gejolak sosial ekonomi dan politik nasional, berakhir dengan kerja sama dalam sistem pemerintahan oligarki.
Berikut tulisan lengkap Heru, yang merupakan Ketua Bidang UMKM dan Ekonomi Kreatif Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) Jabar:
Krisis moneter 1998 yang menghantam Asia Tenggara berimbas cepat merusak dan memporak-porandakan ekonomi Indonesia. Gelombang krisis keuangan global dipicu oleh kekuatan dolar terhadap mata uang rupiah memaksa jatuhnya perekonomian dan melahirkan faktor pendukung huru-hara sosial ekonomi dan politik tanah air.
Negara seperti Indonesia menjadi salah satu korban negatif dari efek domino krisis moneter dunia. Indonesia sangat rentan menjadi sasaran kejatuhan ekonomi.
Saat krisis terjadi, Indonesia mengalami tekanan berat akibat tingkat ketergantungan luar negeri baik dari banyaknya hutang luar negeri, ketegangan impor barang dan sistem keuangan yang menganut devisa bebas.
Situasi tersebut memaksa Indonesia tunduk dan mengikuti mekanisme keuangan pasar bebas dengan diakhiri rontoknya nilai mata uang rupiah dalam level terendah.
Dalam 6 bulan berturut-turut rupiah terjun bebas dari kisaran Rp2.200 per dollar ke angka Rp17.000.
Perjuangan reformasi juga menorehkan sejarah kelam bagi pergerakan mahasiswa.
Tuntutan untuk dibuatkan pemerintahan Orde Baru dan turunnya presiden harus dibayar mahal dengan korban para aktivis mahasiswa.
Banyak tokoh-tokoh reformis pergerakan mahasiswa ditangkap ,diculik dan sampai saat ini ada juga korban yang secara misterius hilang.
Korban darah dan nyawa terus terjadi, tragedi Trisakti adalah bukti perstiwa kekejaman rezim bertindak represif membunuh pergerakan mahasiswa.
Gejolak sosial mendera dan menjadikan sejarah menyakitkan yang nyaris menuju krisis disintegrasi bangsa.
Kerusuhan, penjarahan dan pembakaran terjadi di banyak kota besar Indonesia. Indonesia saat itu begitu mencekam, dan menimbulkan eksodus besar besaran sebagian warga Indonesia ke luar negeri.
Kesimpulannya, proses perjuangan menuju era reformasi harus dibayar mahal dan menyisakan dampak traumatik dan kelam bagi sejarah panjang NKRI.
Tanggal 21 Mei 2021 diperingati sebagai tonggak sejarah baru dinamika proses sejarah yang harus dilewati bangsa Indonesian.
Sudahkan kita merasakan kenikmatan politik dan ekonomi paska reformasi saat ini?
Jika anda belum puas, biasakan memberikan argumentasi mengapa terjadi stagnasi perjuangan reformasi?
Siapa saja yang menikmati dan menjadi penghambat nya perjuangan reformasi?
Babak baru bangsa Indonesia, proses politik kebangsaan berlangsung dengan diumumkannya mundurnya Soeharto sebagai presiden RI dan dibentuknya pemerintahan baru di bawah Presiden BJ Habibie.
Proses lobi sedang berlangsung deal dan kesepakatan dimulai.
Sering terjadi kesepakatan perumusan transisi demokrasi paska reformasi dengan diselamatkannya melalui percepatan pergantian kekuasaan yang legitimate melalui pemilu yang dipercepat.
Euforia kehidupan politik dan bernegara bergulir semarak.
Segenap komponen bangsa berharap besar akan perwujudan dan pelaksanaanya menuju Indonesia baru dengan semangat reformasi.
Hasil proses politik untuk menjadikan Indonesia makmur dan berkeadilan rupanya terdegradasi oleh kepentingan kelompok dan kaum anti reformis.
Mereka bekerja dari perencanaan, pembahasan, pelaksanaan dan fungsi kontrol fungsi bahan bahan politik tidak berjalan sebagai mestinya.
Perubahan produk hukum dan UU yang menyentuh dasar dasar kenegaraan dan kebijakan publik tidak beriringan bekerja linier dalam implementasi tugas dan fungsi kepala negara dan kabinet pendukunya.
Kondisi keseluruhan perjalanan era reformasi redup dan banyak mengalami distorsi fungsi dan manfaat untuk menjalankan penegasan semangat reformasi.
Banyak indikator reformasi politik dan produk kebijakan dan turunannya yang gagal paska reformasi.
Produk pemilu yang gagal. Semangat reformasi dalam bidang politik tidak serta merta dibarengi dengan kualitas dari proses politik itu sendiri.
Dirubahnya UU pemilu yang mengalami perubahan beberapa kali kali tidak memberikan daya ungkit produk hasil proses demokrasi.
Pemilu langsung hanya dijadikan proses kegiatan politik praktis dan menjadi alat legitimasi raja-raja baru untuk berkuasa. Proses suksesi politik melalui pemilu mengabaikan asas - semangat- tujuan dari kesucian reformasi .
Tidak ada harapan banyak ketika kita bicara aspek normatif ketika di level kepala daerah, legislatif dan presiden serta merta berproses dalam koridor proses berdemokrasi yang berkualitas dan mengasikkan kepemimpinan daerah dan nasional yang berkualitas.
Maraknya elite politik terjerat korupsi dan berakhir di penjara menjadi tamparan keras bagi indikator keberhasilan dalam pencapaian semangat reformasi .
Tindakan dan kebiasaan untuk korupsi sangat besar bahkan sudah menjadi ritual berjamaah dan bagian pemahaman kolektif korupsi sudah menjadi bagai kewajaran dan budaya.
Penyakit mental korupsi ini menjangkit dari level produk politik birokrasi pemerintahan terendah sampai level puncak yakni RT/RW, Kepala Desa, Walikota/Bupati Gubernur.
Pemilu yang sudah di gelar 4 kali hanya melahirkan koloni baru politik dinasti. Dalam tingkatan politik nasional terlahir banyak kerajaan baru koloni politik, Dinasti Amien Rais, Dinasti Gusdur, Dinasti Megawati Megawati dan Dinasti Jokowi.
Muncul juga reaksi dan resistensi rezim lama dinasti Soeharto bergerak dan melakukan semangat perlawanan.
Bayangkan pada level daerah dan tingkatan desa akan terlahir ribuan dinasti bupati/ walikota dan kepala desa.
Partisipasi kolektif masyarakat tersesat dan terjerumus untuk menghidupkan dan membangkitkan serta melahirkan kembali kelompok kepentingan baru dan menciptakan kelompok kelompok kokektif berjamaah/ oliqarki.
Identitas dan idelogi kepartian muti partai saat ini hanya diartikan dalam wujud retorika dan jargon politik. Mereka berjualan politik dengan panggung produk dagangan politik identitas.
Isu berpolitik dengan rasa dan citra kebangsaan/nasionalis hanya ada wilayah tataran wacana dan formalitas identitas ideologis di akte pendirian partai.
Tematik ideologi dan tujuan kebangsaan kaitannya semangat meraih Indonesia baru melalui berbagai partai mengusung ideologi terbuka/ nasional dipertanyakan.
Partai yang mengamalkan dan mengenakan baju nasionalisme justru terjebak identitas sempit yakni mengarahkannya kontituennya ke pengkultusan individu sebagai mesin penggerak ideologi .
Di lain disisi terjadi partai politik yang menunjukan identitas ideologi yang ekstrim, ada banyak partai politik yang sengaja mengajak konstituen dan melakukan aneksasi politik identitas sektarian atau kultus pribadi.
Hasil kerja politik yang dilakukan dalam tingkatan penyelenggaraan pemerintahan harus dibayar mahal karena berujung pada tersumbatnya proses demokrasi dalam penyelenggaraan bernegara dan bernegara.
Secara umum partai politik hanya bekerja untuk kepentingan identitas kolektif dan termasuk partai yang melakukan koalisi di pemerintahan. Kesepakatan perjuangan parpol dalam pemahaman keadilan sosial dan kesejahteraan belum tercapai.
Kapitalisasi dan dukungan kaum oportunis negeri ini juga merusak sistem kepartaian. Orang berduit bisa membuat parpol membajak aktifis pakar ,ahli dan pemuka agama dan mantan para petualang politik .
Inikah fase rezim oliqarki politik terlahir dan akan mendominasi ruangan dan gerak politik ekonomi nasional sangat berbahaya bagi kedaulatan demokrasi.
Kontruksi politik dibangun untuk sahabat, golongan dan pribadi dengan menjual jargon politik kebangsaan, kemanusian dan nasionalisme.
Kiamat bagi kita karena sebagian parpol siluman ini mendapatkan wakil di legeslatif/DPR semua tingkatan dan bahkan bisa menjadi bagian di wilayah eksekutif baik di level nasional atau daerah sebagai mentri atau gubernur atau bupati.
Kesuksesannya memperoleh dukungan politik melalui wakilnya di parlemen atau eksekutif parpol siluman inilah yang akan membeli, mempengaruhi dan melakukan lobi + lobi politik dasar kemauan dan kepentingannya.
Dalam rangka membidik sasaran mereka melibatkan dan menaruh ketertarikan untuk mengakui kebijakan publik melalui intervensi UU, kepres, pergub atau perda.
Kekuasaan
Tamatlah reformasi saat ini. Dibutuhkan semangat dan gairah baru untuk menandingi dan melawan kapitalisasi politik padat modal dan sentralistik. Bencana demokrasi ini jangan biarkan berjakan dan berkembangnya biak mewujudkan tirani politik baru yang sistemik masif dan berkelanjutan.
Suatu gerakan "Revolusi Damai" dalam pembaharuan gagasan pemikiran, pemahaman dan eksekusi yang harus berhasil.
***