UE Tidak Objektif dalam Menilai Deforestasi Hutan di Indonesia

- 10 September 2021, 14:40 WIB
DEFORESTASI atau penggundulan hutan dikhawatirkan dapat memicu pandemi baru
DEFORESTASI atau penggundulan hutan dikhawatirkan dapat memicu pandemi baru //pexels/Khari Hayden

BERITA SUBANG- Hingga kini, negara-negara asing terutama Uni Eropa (EU)sering tidak objektif dalam menilai deforestasi.

Perspektif yang kental dengan kepentingan perang dagang itu merugikan industri kelapa sawit nasional.

Demikian salah satu kesimpulan yang dari webinar “The fact of Indonesian Deforestation’s Rate” yang diselenggarakan INAPalmoil Talkshow, Rabu 8 September 2021.

Keberpihakan Uni Eropa bahkan sudah terwujud dalam bentuk kebijakan yang mengancam perdagangan. European Green Deal (EGD), misalnya. Kesepakatan ini memimpikan negara-negara Uni Eropa di tahun 2050 sudah mencapai net zero emission.

“Apakah ini semata-mata karena mereka mencita-citakan lingkungan yang ideal atau karena diskriminasi, atau proteksionisme?” kata Andri Hadi, Duta Besar Republik Indonesia untuk Belgia Luxemburg, dan Uni Eropa ketika menjadi salah satu pembicara diskusi.

Baca Juga: Kisah Tri Widodo Menapak Kehidupan, Kuli Bangunan yang Sukses Jadi Petani Sawit Mandiri

“Beberapa negara yang kepentingannya di pasar Eropa terancam, menurutnya, sudah bersiap-siap mengajukan gugatan ke WTO. Ini akan ramai,” lanjutnya.

Pertanyaan seperti itulah yang juga sering ia ajukan pada pemerintah negara-negara Uni Eropa.

Seperti banyak negara lainnya, Indonesia pun akan terkena dampak EGD. Sektor kelapa sawit salah satu yang terpengaruh.


Melalui EU Forest Strategy mereka menetapkan syarat traceabillity atau keterlacakan rantai pasok mulai dari hulu sampai hilir. Begitu pula dengan ketentuan tentang “produk hijau” di mana Uni Eropa akan memperketat persyaratan bila komoditas-komoditas kategori Forest and Ecosystem Risk Commodities ingin masuk ke pasar Uni Eropa.

Isu deforestasi juga jadi penghalang. “Aktivitas ekonomi dan investasi di pasar Eropa harus bebas dari isu deforestasi, lingkungan hidup, dan HAM,” tegas Andri Hadi.

Namun, meskipun serangan terhadap industri kelapa sawit nasional sangat terasa, tampak ada dikotomi antara kelapa sawit sebagai produk pangan di satu sisi dan produk energi di sisi lain.

Baca Juga: Pemangku Kepentingan Sawit Dukung Kemitraan dengan Petani

Hambatan ditujukan pada biodiesel dari sawit, tapi produk kelapa sawit tetap mereka impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ini terjadi karena produk minyak nabati lain seperti rapeseed, soya, sun flower tidak akan pernah bisa menggantikan sawit. “Saya yakin ini,” katanya.

Meskipun demikian, usaha keras dan serius harus terus digalakkan. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap kelapa sawit Indonesia.

Para pelaku industri kelapa sawit juga harus terus menunjukkan prinsip dan praktek keberlanjutan serta kontribusi dalam pencapaian Sustainable Development Goals di berbagai aspek.***

Editor: Tommy MI Pardede


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah