Mengenal Sejarah Kabupaten Subang, Zaman Penyebaran Agama Hindu, Islam, Hindia Belanda hingga Saat Ini

- 28 Juni 2023, 15:39 WIB
/Google Map/Nurwida Swardana/

BERITA SUBANG - Kabupaten Subang, yang memiliki luas sekitar 2.051 kilometer persegi, tadinya merupakan bagian dari Kabupaten Karawang.

Dilansir dari Keputusan DPRD No. 01/SK/DPRD/1977, hari jadi kabupaten yang memiliki semboyan Benteng Pancasila ini adalah tanggal 5 April 1948.

Di artikel sebelumnya, Subang ternyata memiliki rekam jejak dari jaman prasejarah.

Lompat ke masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Kabupaten Karawang waktu itu masuk dalam wilayah Negara Pasundan, sebelum daerah ini dipecah kembali menjadi dua yakni, di wilayah Barat menjadi Kabupaten Karawang dan wilayah timur menjadi Kabupaten Purwakarta.

Baca Juga: Kabupaten Subang Akan Mekar, Ini Sejarah, Geografi, Iklim hingga Topografinya Saat Ini

Purwakarta kala itu beribukota di kecamatan Subang saat ini.

Baru pada tahun 1968 Purwakarta dipecah kembali menjadi Kabupaten Purwakarta yang beribukota di Purwakarta dan Kabupaten Subang yang beribu kota di Subang.

Mengingat sejarah panjang ketiga wilayah ini, istilah Purwasuka atau akronim dari Purwakarta-Subang-Karawang kini populer kembali, merepresentasikan wilayah metropolitan sekaligus wilayah geo-budaya yang meliputi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

Luas ketiga wilayah itu adalah sebesar 4.371,89 kilometer persegi dan dilewati oleh Jalur Pantura dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek serta dilewati jalur kereta api lokal dan rencananya Kereta Cepat Indonesia-China juga akan berhenti di Stasiun HSR Karawang.

Baca Juga: Pemprov dan DPRD Jawa Barat Setujui Pemekaran Daerah Kabupaten Subang Utara, Ini 14 Kecamatan Terdampak

Kerajaan yang pernah ada di Subang

Artikel ini juga membahas sejarah Subang dari masa penyebaran agama Hindu, atau kerajaan-kerajaan tua.

Di masa ketika kebudayaan Hindu menyebar, tercatat ada tiga kerajaan tua yang silih berganti berkuasa di Subang, mulai dari Tarumanagara, Galuh hingga Pajajaran.

Di masa berkuasanya tiga kerajaan tersebut, diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan lainnya di luar wilayah Nusantara.

Dilansir dari investasi.jabarprov.go.id, ditemukan peninggalan kuno berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati).

Hal ini membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh.

Lalu ketika datangnya pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang, tercatat ada peran besar ulama bernama Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka.

Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan Agama Islam ke berbagai pelosok Subang.

Di masa penjajahan Hindia Belanda, pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di pulau Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan.

Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia tersebut.

Ketika terjadi perang besar antara Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia.

Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang tidak kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang.

Di tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun.

"Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa.Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands)," demikian tulis penjelasan di investasi.jabarprov.go.id.

"Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang."

Jadi Subang memang dari dulu memiliki kultur budaya di industri perkebunan.

Bagian dari perjuangan RI melawan kolonialisme

Di masa perjuangan melawan kolonialisme, Subang memiliki beberapa tokoh pahlawan, diantaranya Odeng Jayawisastra, karyawan P & T Lands, yang berani menentang penjajah. Pada 1930, Odeng dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands, mengakibatkan dirinya dipecat.

Odeng Jayawisastra dan Tohari kemudian mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang.

Ada juga tokoh bernama Darmodiharjo tahun 1935 yang mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang.

Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.

Di masa pendudukan Jepang, pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati.

Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang.

"Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang," demikian penjelasan dari situs resmi Pemprov Jabar.

Paska dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta tahun 1945, Subang juga ikut sibuk mendirikan berbagai badan perjuangan di Subang.

Beberapa diantaranya ada Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain, banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota TNI.

Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang.

Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat.

Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen.

"Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng," demikian kisah yang ditorehkan oleh situs resmi Pemprov Jabar.

Untuk para pelajar yang sedang mempelajari sejarah Kabupaten Subang, dapat dicatat, bahwa Subang turut serta dalam perjuangan menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia.

***

Ikuti berita kami melalui Google News

Editor: Muhamad Al Azhari

Sumber: investasi.jabarprov.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah