Polisi menghalau suporter dan menembakkan gas air mata ke arah tribun. Penonton blingsatan dan sesak nafas, mencari jalan keluar.
Para suporter saling injak dan kehabisan napas. Hasilnya, lebih dari 300 orang tewas dalam peristiwa nahas tersebut.
Namun itu terjadi tahun 1964, jauh sebelum FIFA mengeluarkan peraturan resmi yang melarang penggunaan gas air mata atau ‘crowd control gas’ di lapangan sepakbola.
Sabtu 1 Oktober 2022, peristiwa Kanjuruhan masuk ke ranking kedua tragedi sepak bola terburuk sepanjang sejarah.
Baca Juga: Lesti Kejora Pastikan Tidak Ada Kesempatan Kedua Bagi Rizky Billar
Seolah tak berkaca pada sejarah, mengabaikan aturan FIFA, aparat menembakkan gas air mata ke arah tribun.
Membuat suporter panik dan berhamburan mencari jalan keluar, anak-anak dan perempuan terinjak-injak, menewaskan lebih dari 130 orang korban jiwa. Ini lebih parah dari tragedi Accra Sport Stadium pada tahun 2001 di Ghana (126 korban jiwa), tragedi Hillsborough 1989 di Sheffield, Inggris (96 korban jiwa).
Bahkan tragedi ini lebih ngeri dibandingkan tragedi Kathmandu, Nepal, yang menewaskan 93 orang akibat badai gumpalan es tahun 1988.
FIFA sebenarnya telah melarang ‘crowd control gas’ dan ‘firearms’ di lapangan sepak bola.
Aturan ini ada karena tragedi-tragedi sebelumnya yang menewaskan puluhan orang di stadion sepak bola.