"Saya harus mendengar pihak lain. Pada intinya harus ada solusi, ibu harus tinggal di tempat yang layak," jawab Wakil Ketua Komisi IV DPR RI itu.
Demi menelusuri konflik tersebut Kang Dedi Mulyadi mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purwakarta menemui Kepala BPN Purwakarta Deddy dan pemilik pabrik Ferry.
Data BPN menyebut Lifelon Jaya Makmur tercatat memiliki lahan seluas 11 hektare, dan dalamnya terdapat bangunan warga.
Diperoleh keterangan, Ferry selaku pemilik pabrik mendapat alihan hak garap pada tahun 1985-1986 lalu.
Kemudian selama tiga tahun, perusahaan tersebut membuka galian pasir dan tutup dan ditinggalkan karena kurang menguntungkan.
Baca Juga: Akomodasi PAN, Jokowi Dikabarkan Umumkan Reshuffle Kabinet Hari Ini
Selanjutnya pada Tahun 2011 berencana membangun pabrik, namun lahan miliknya sudah ditepati oleh 62 KK.
Sebelumnya, 62 KK tersebut telah dimediasi di Kantor Desa Cilangkap, dan disepakati akan meninggalkan lokasi dengan kompensasi Rp 1 juta per KK serta diberi tanah 100 M2 yang telah disertifikatkan bertembap di dekat areal pabrik.
Seiring waktu berjalan, tiba pada Tahun 2019 ternyata terdapat penambahan rumah penduduk yang berjumlah 38 KK yang merupakan pendatang.
Meski berstatus pendatang dan tidak tercatat dalam kesepakatan Tahun 2011, pihak Lifelon Jaya Makmur tetap memberikan kompensasi kepada mereka.
"Maka bagi mereka yang masih tinggal di sana dengan kondisi rumah non permanen akan dibayar Rp 10 juta, semi permanen Rp 12 juta dan permanen 15 juta," kata Kepala BPN Purwakarta di YouTube KDM, Selasa (28 September 2021).
Baca Juga: Daftar Daerah dengan Status Siaga Banjir Bandang dari BMKG, Masyarakat Diimbau untuk Teta Waspada
Di tempat yang sama Ferry membenarkan penjelasan BPN Purwakarta.
Menurutnya, sejak lama pabrik akan dibangun namun terkendala bangunan warga.
Sebagai solusi, disepakati perusahaan memberikan uang kerohiman dan tanah pengganti kepada warga pada Tahun 2011 silam.
"Kemudian belakangan bertambah lagi KK di sana di luar yang 2011," jelasnya.