Harga CPO Masih Tinggi, Minyak Goreng Akan Mahal Sampai 2023? Apa sih Peran BPDPKS? Airlangga Janji Ini

- 9 Februari 2022, 18:04 WIB
Stok minyak goreng kemasan selalu kosong di beberapa retail modern kecil.
Stok minyak goreng kemasan selalu kosong di beberapa retail modern kecil. /Sinta Nursari/DOK. Cianjurpedia

BERITA SUBANG - Harga minyak sawit mentah, atau Crude Palm Oil, masih bertengger di angka tinggi, sebuah fenomena yang harusnya bagus untuk produsen kelapa sawit di Indonesia, namun ironisnya justru berdampak negatif terhadap masyarakat luas.

Pasalnya, tingginya harga CPO ditenggarai menyebabkan harga produk turunan CPO menjadi mahal, dan salah satu produk turunan CPO yang paling banyak digunakan adalah minyak goreng. 

Mengutip harga CPO di Bursa Malaysia kemarin, Selasa, 8 Februari 2022, masih di tutup di harga MYR 5.252 per ton, atau hanya turun 1,78 persen dari hari sebelumnya. Mengapa harga ini tinggi? Karena jika dihitung kenaikan secara tahun-ke-tahun, sudah meroket 52,52 persen.

Dampaknya apa ke publik di Indonesia? harga salah satu produk turunan CPO seperti minyak goreng pun melambung tinggi.

Dikutip Berita Subang dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga rata-rata minyak goreng kemasan bermerek I di pasar tradisional, berkisar di angka Rp 19.900 per kg per 8 Februari 2022.

Jika kilogram tersebut dikonversi ke liter, maka jadilah harga sebesar Rp 21.890 per liter, yang menjadikan harga tersebut masih melambung jauh di atas kebijakan satu harga pemerintah yakni di Rp 14.000 per liter.

Selama harga CPO masih tinggi, terjadi dilema karena menurut hukum pasar, ketika harga bahan baku mahal, maka harga produk turunan ikut mahal.

Hal yang sejatinya menjadi keuntungan para produsen sawit, bisa berarti menjadikan kantong cekak untuk pembeli minyak goreng, terutama ibu-ibu.

Bagaimana care kerja kebijakan satu harga pemerintah? Begini caranya, agar minyak goreng dapat dijual di harga Rp 14.000 per liter, maka pemerintah harus memberikan 'subsidi' kepada produsen minyak goreng.

Ada cara agar minyak goreng bisa djual di bawah harga pasar, misalnya di Rp 14.000/liter seperti kemauan pemerintah. Itu adalah dengan memberikan 'subsidi' kepada produsen minyak goreng.

Subsidi kok bukan ke rakyat?

Mengapa harus disubsidi? Ketika produsen minyak goreng membeli CPO dengan harga mahal, siapa yang harus menanggung selisihnya jika harus dijual dengan harga murah?

Bhima Yudhistira Adhinegara Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), mengatakan: "Masalahnya ada di kebijakan subsidi melalui perusahaan minyak goreng sebagai sebuah kesalahan."

"Selama subsidi nya ke swasta bukan langsung ke penerima atau masyarakat miskin maka akan terjadi kesenjangan antara pasokan dan permintaan," demikian kata Bhima.

Peran BPDPKS

Ketika pemerintah harus menanggung subsidi harga jual minyak goreng agar dapat murah, ada sebuah badan yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Lembaga, menurut Peraturan Pemerintah, berwenang mengumpulkan pungutan ekspor kelapa sawit. Ketika dibutuhkan, dana pungutan ekspor tersebut dapat digunakan untuk 'subsidi' selisih harga minyak goreng.

Ada tumpang tindih dalam peraturan Peraturan Pemerintah (PP) No 61/2015 pasal 11 ayat (1), yang menyebutkan bahwa dana hasil pungutan ekspor tersebut digunakan untuk kepentingan:

  • Pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit;
  • Penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit;
  • Promosi perkebunan kelapa sawit;
  • Peremajaan perkebunan kelapa sawit;
  • Sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit;

Sementara, pasal 11 ayat (2) menyatakan: Penggunaan Dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam rangka pemenuhan hasil Perkebunan Kelapa Sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.

Perhatikan satu kata di pasal 11 ayat (2) tersebut, pada kata kebutuhan pangan dapat diartikan bahwa dana hasil pungutan ekspor dapat dipakai untuk membantu pemenuhan terkait pangan, misalnya minyak goreng.

Apakah artinya ini? Artinya dana yang dikantungi BPDPKS dari dana pungutan ekspor dapat digunakan untuk menutup selisih harga dengan memberi 'subsidi'. Namun, seperti dijelaskan Bhima Yudhistira, mekanisme dana subsidi ini diberikan ke perusahaan minyak goreng.

Adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ketika memimpin Rapat Komite Pengarah BPDPKS, yang mengungkapkan bahwa "untuk selisih harga minyak goreng akan diberikan dukungan pendanaan dari BPDPKS sebesar Rp7,6 triliun."

Untuk yang ingin memahami struktur BPDPKS, dapat dilihat pada bagan di bawah ini, Menko Perekonomian dan menteri lainnya bersama para profesional, bertinda selaku Komite Pengarah dan Dewan Pengawas, yang memberi arahan kepada Direktur Utama BPDP Kelapa Sawit.

Mantan Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih pernah mempertanyakan subsidi minyak goreng yang mencapai 1,5 miliar liter dengan dana Rp7,6 triliun untuk 6 bulan.

"Uniknya, pada 5 januari 2022 Kemenko Perekonomian menyatakan bahwa kebutuhan subsidi utk 1,2 miliar liter selama 6 bulan diperlukan anggaran Rp 3,6 triliun untuk menutupi selisih harga dan PPN," kata Alamsyah, seraya menambahkan, subsidi minyak goreng pada dasarnya adalah subsidi tambahan untuk biodiesel.

"Siapa yang diuntungkan?" tanya Alamsyah.

"Mengapa volume naik 25 persen tapi alokasi dana naiknya lebih dari 100 persen? Apakah Menteri Keuangan sudhlah menyetujui ini mas @prastow?," kata Alamsyah Saragih, mengilustrasikan mencolek Staf Ahli Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo melalui platform sosial media Twitter.

Tangkap layar Lampiran Bahan RDP Komisi IV DPR RI
Tangkap layar Lampiran Bahan RDP Komisi IV DPR RI
Lalu, jitukah terobosan ini? Masih banyak yang menyangsikan terkait pembayaran selisih harga sulit cair karena urusan administrasi. Hal ini menyebabkan produsen enggan menjual dengan harga murah dan minyak goreng tersandera di pedagang, mulai dari kemasan premium, sederhana, hingga curah. 

"Kemarin kan chaos sekali penyaluran minyak goreng subsidi nya menimbulkan indikasi adanya penimbunan juga karena satu orang bisa beli lebih dari satu kemasan," kata Bhima Yudhistira.

Selain itu, pemerintah juga, sejak 27 Januari 2022 memberlakukan kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) dan Domestik Price Obligation (DPO), di mana para eksportir CPO memiliki kewajiban memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari total volume ekspor mereka. Hal ini diberlakukan seiring kebijakan pemerintah menetapkan aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng.

Rezim harga tidak murah lagi

Namun efektifkah mengatasi masalah? Alih-alih membantu masyarakat hal ini justru memberi efek domino pada harga CPO internasional karena Indonesia merupakan produsen kelapa sawit nomor wahid di dunia.

Pada sebuah diskusi virtual, yang diadakan Kamis, 3 Februari 2022, Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan ada indikasi kenaikan harga acuan CPO secara konsisten.

"Trennya harga CPO tidak akan turun. Sampai Januari 2033, harga CPO masih bertengger di angka RM 5.000-5.500 per metrix ton dan kita akan berhadapan dengan rezim harga yang tidak murah seperti dulu,” ujar Tauhid.

Jika harga CPO di pasar global mengalami trend kenaikan terus, maka pemerintah harus bersiap-siap mensubsidi dalam angka yang besar.

Sebagai informasi, dana pungutan sawit dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada 2021 mencetak rekor tertinggi, dengan membukukan angka hampir Rp 70 triliun. Jika ekspor dikurangi, maka dana pungutan diperkirakan dapat lebih rendah.

"Jadi kami melihat ini suatu kebijakan yang rumit operasionalisasinya. Kenapa sekarang harga minyak mulai turun tapi barang sulit di lapangan, ini ada problem serius di level industri CPO, karena tampaknya produsen mengalami kesulitan dengan penyesuaian harga,” kata Tauhid dalam diskusi online pada Kamis lalu.

Sengkarut di atas harus segera dibenahi pemerintah, karena rakyat yang akan menjadi korbannya.

Bhima Yudhistira dari Indef juga menyoroti "sanksi kepada produsen minyak goreng juga sangat lemah."

"Apa ada produsen minyak goreng yang dicabut izin ekspor atau izin usaha karena gagal menyalurkan minyak goreng? Kan tidak ada itu. Akibatnya ya suka suka si produsen mau gulirkan pasokan berapa ke pasar. Dalam hal ini pemerintah memang kurang tegas.

Bhima juga mengatakan kebijakan DMO merupakan kebijakan yang terlambat. "Terlambatnya kebijakan DMO untuk CPO sebagai kunci stabilitas pasokan dan harga di produsen minyak goreng. Sebelum ada subsidi minyak goreng idealnya ada DMO dulu," demikian ujarnya.

***

 

Editor: Muhamad Al Azhari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah