Ini Jalan Berliku RCEP Sebelum Jadi Perjanjian Perdagangan Terbesar di Dunia Di Luar WTO

16 November 2020, 06:24 WIB
Setelah melalui jalan berliku sejak 2013, akhirnya RCEP ditandatangani /Foto: Kementrian Perdagangan/

BERITA SUBANG - Perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN dan mitranya yakni Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan China, yang  ditandatangani pada Minggu, 15 November 2020, ternyata mempunyai catatan sejarah berliku.

Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) kini menjadi  perjanjian perdagangan terbesar di dunia di luar Organisasi Perdagangan Dunia, atau World Trade Organization (WTO). 

Hal ini ditinjau dari total Produk Domestik Bruto, dari negara yang berpartisipasi yakni 10 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Philipina, Kamboja, Singapura, Myanmar, Laos, dan Brunei Darussalam) dan lima raksasa ekonomi dikawasan Asia.

Baca Juga: Mendag Berharap 'Regional Power House' Dapat Tercipta Setelah RCEP Ditandatangani Asean dan Mitra

Jika ditotal, PDB negara-negara tersebut berkontribusi 30,2 persen dari PDB dunia. Lalu, dihitung dari aspek besarnya investasi asing langsung, atau foreign direct investment (FDI), negara yang berparticipasi dalam RCEP berkontribusi sebanyak 29,8 persen dari total FDI dunia.

Jumlah penduduk semua negara tersebut setara dengan 29,6 persen, sedang dari sudut nilai perdagangan, setara dengan 27,4 persen perdagangan dunia. Persentase ini hanya sedikit dibanding kontribusi perdagangan 27 negara pada Uni Eropa terhadap dunia yakni 29,8 persen.

"Gagasan RCEP dicetuskan saat Indonesia memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011, dengan tujuan mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan enam mitra dagangnya," kata Kementrian Perdagangan dalam siaran persnya Minggu.

"Konsep RCEP kemudian disepakati negara anggota ASEAN pada akhir 2011 di Bali, Indonesia. Baru pada akhir 2012 setelah “menjual” konsep ini kepada enam negara mitra FTA ASEAN, para Kepala Negara/Pemerintahan dari 16 negara pun sepakat meluncurkan perundingan RCEP pada 12 November 2012 di Phnom Penh, Kamboja."

Dijelaskan lebih lanjut oleh Kemendag, pada awal 2013, para Menteri Perdagangan ASEAN sepakat menunjuk Indonesia sebagai Koordinator ASEAN untuk Perundingan RCEP.

"Kesepakatan ini bahkan diperluas oleh 16 menteri negara peserta perundingan dengan menunjuk Indonesia sebagai Ketua Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiating Committee/TNC) RCEP."

Jalan Berliku

Pada perundingan pertama di tahun 2013, pertemuan TNC dihadiri tidak lebih dari 80 orang anggota delegasi dari 16 negara peserta.

Namun memasuki akhir tahun ketiga, jumlah anggota delegasi yang terlibat langsung dalam perundingan terus meningkat.

Puncaknya terjadi di tahun 2017—2018, di mana Ketua TNC memberikan arahan dan target pencapaian kepada lebih dari 800 anggota delegasi yang terbagi ke dalam berbagai kelompok kerja dan subkelompok kerja.

Ternyata berbagai perundingan RCEP berlangsung bukan tanpa kendala.

Mendag Agus Suparmanto mengungkapkan, perbedaan tingkat kesiapan ekonomi negara peserta RCEP memberikan tantangan tersendiri karena ambisi dan sensitivitas yang berbeda antara negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang membuat perundingan sering memanas.

"Dalam situasi seperti itu, dituntut pemahaman isu secara mendalam, penguasaan seni berunding secara plurilateral, kesabaran, dan bahkan sense of humor dari Ketua TNC, yang akhirnya mampu mempertahankan jalannya perundingan secara produktif," ujarnya.

"Praktis selama lebih dari delapan tahun berunding, tidak satu kali pun ada negara yang melakukan ‘walk-out’ dari perundingan," ujar Mendag Agus.

Menurut Kemendag RI, perjanjian RCEP dapat dikatakan sangat komprehensif, "meskipun tidak selengkap dan sedalam perjanjian regional lainnya, seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP)."

Kemendag mengutip pengamat ekonomi dari Hinrich Foundation, Stephen Olson, yang menyatakan dalam merespons dampak ekonomi dari Covid-19, dalam beberapa tahun ke depan rantai nilai (value chain) akan cenderung lebih pendek dan negara-negara di dunia akan memanfaatkan kedekatan geografis, dan menghindari rantai nilai lintas samudra.

Dalam konteks ini, lanjut Kemendag "RCEP yang secara geografis menyatukan kawaasn Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru (New Zealand) akan lebih cepat tumbuh dan menguat dibandingkan CP-TPP atau Perjanjian Trans-Atlantik yang sementara ini dihentikan perundingannya." ***

Editor: Muhamad Al Azhari

Tags

Terkini

Terpopuler