Balada Musisi yang Menghiasi Kota Bandung, Suka Duka dan Kisahnya

- 30 September 2023, 21:05 WIB

BERITA SUBANG - Di tengah hiruk pikuk pengendara yang melewati jalanan dan hembusan angin panas, menyeruak suara merdu lantunan musisi jalanan mengumandangkan lagu "Andaikan Kau Datang Kembali", mengingatkan keluarga di rumah yang menanti kepulangan seorang ayah yang pergi untuk mencari nafkah.

Itulah suara Gilang Permana (27) salah satu musisi jalanan di bawah Jembatan Layang Pasupati, tepatnya di lampu merah Jalan Cihampelas Kota Bandung, sambil memetik gitar kesayangannya di bawah terik matahari pukul 10.30 WIB pada Jumat (22/9/2023).

Gilang bersama tiga rekannya, Asep, Addo, dan Otong mengamen dari pagi hingga tenggelamnya matahari. "Mulai ngamen itu ada bagiannya pagi, siang, sore. Kalau pagi dari jam 07.00 sampai jam 11.00. Kalau siang dari jam 13.00 sampai jam 15.00. Sorenya jam 16.00 sampai jam 18.00. Tiap hari seperti itu,” ucap Gilang saat ditemui di Bandung.

Belum lama ini tokoh masyarakat sekaligus anggota DPR asal Jawa Barat, Dedi Mulyadi, merasa tertarik dan sengaja turun dari mobilnya saat melintas untuk menemui musisi jalanan Gilang dan rekannya itu. “Iya, Kang Dedi sempat ke sini pas lewat. Beliau tiba-tiba parkirin mobilnya dan kagum sama suara dari a Addo, pas tanggal 13 September lalu. Kang Dedi juga upload videonya di akun Youtube-nya,” ucap Gilang.

Gilang juga mengatakan Addo sempat diundang ke rumah Kang Dedi di Lembur Pakuan Sukadaya, Subang. “ Aa Addo diundang ke Subang. Kayanya ada acara gitu,” ucap Gilang sambil diiringi lagu "Andaikan Kau Datang Kembali".

Dukungan tokoh masyarakat membuat Gilang dan rekannya yakin jika musisi jalanan di Bandung akan terus maju. Bahkan saat ini para pengamen sekitar Jalan Cihampelas sudah membuat komunitas bernama Komunitas Musik untuk Langit (KML).

KML terbuka bagi semua kalangan yang ingin belajar musik. Saat ini, KML memiliki dua grup musisi jalanan yang setiap hari bergilir memainkan alat musik.

“KML ini sudah berdiri dari tiga tahun yang lalu. Bisa terbentuk karena awalnya ingin meningkatkan potensi anak jalanan. Kita juga berkomitmen tidak akan melakukan hal yang merugikan bagi masyarakat maupun pemerintah,” ucap Gilang sekaligus Ketua KML. Selain ngamen di bawah Jembatan Layang Pasupati, KML juga sering manggung di kafe Bandung. “Di komunitas kita itu bukan grup band, cuma komunitas aja yang mengiringi dan yang ngejalaninnya ya komunitas itu sendiri. Kami juga memiliki uang kas untuk kebutuhan alat band-nya karena suka ada job di kafe-kafe,” ucap Gilang.

Sebagian masyarakat memang belum menerima keberadaan musisi masyarakat. Namun, sebagian orang juga menghormati haknya. Itu adalah cara mereka untuk mencari sesuap nasi dengan cara yang halal.

Menggeluti alat musik selama empat tahun, bagi Gilang bukan menjadi pekerjaan tetapnya. Ia juga mencari pekerjaan yang layak untuk masa depan.

“Memilih jadi musisi jalanan sebenernya ya sambil mengisi kekosongan waktu kan daripada diem cari kerjaan susah udah lama pengangguran ya sementara disini aja,” ucap Gilang.

Setiap hari Gilang dan rekannya menghasilkan pendapatan sebesar Rp50 ribu sampai ratusan ribu. “Pendapatan biasanya sehari per orang paling rendah Rp50 ribu, paling banyak Rp100 ribu lebih,” ucap Gilang.

Suguhan musik jalanan itu sering juga menarik pelintas untuk menghampirinya. Saat itu ada seorang mahasiswa menghampiri Gilang dan rekannya sambil memberi selembar uang tip. Mahasiswa itu bernama Laisya (19). Ia  menganggap musisi jalanan adalah aset kota Bandung.

“Saya suka musik dan kebetulan saya merantau ke Bandung. Ngeliat banyak musisi jalanan di Bandung, saya tertarik dan ini harus dipertahankan sih,” ucap Laisya.

“Iya banyak sih seniman musik yang asalnya dari musisi jalanan di Bandung, jadi ya kenapa harus menganggap rendah mereka,” kata Laisya sambil menikmati lagu yang dibawakan Gilang dan rekannya.  Menurut dia, musisi jalanan di Bandung banyak melahirkan seniman musik yang terkenal seperti Iwan Fals, almarhum Harry Roesli, dan masih banyak lagi.

Alm. Harry Roesli sendiri mendirikan Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) yang menjadi wadah kreativitas dan tempat belajar para musisi jalanan.

Layala Roesly (41), seorang anak dari Harry Roesli, menjadi warisan Rumah Musik yang didirikan sejak 1997 itu.

Dihubungi pada Selasa (26/09), Layala sangat mendukung adanya musisi jalanan yang ada di Bandung. “Jelas positif karena pada dasarnya menurut saya tidak ada bedanya antara musisi jalanan dengan musisi profesional, yang membedakan hanyalah nasib dan kesempatannya saja,” ucap Layala.

Sama halnya dengan Layala. Seniman musik muda asal Bandung, Bintang Raga (23) tidak merasa dirugikan dengan adanya musisi jalanan. Berharap mereka dapat lebih mengangkat musik yang ada di Bandung.

“Saya juga tidak keberatan sih dengan adanya musisi jalanan, apalagi sekarang sudah banyak perkembangan dari tahun-tahun kebelakang, ditambah alatnya juga udah nambah komplit,” ucap Bintang yang juga pernah menjadi memainkan terumpet (trumpetter) untuk grup Dewa 19..

“Sekarang memang musisi jalanan di Kota Bandung sudah terkenal, namun agar lebih dikenal kalo bisa ngangkat musik khas Bandung-nya,” tambah Bintang.

Editor: Tommy MI Pardede


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah