Iskandar Hadrianto: Membangun Constructive Engagement di Myanmar

- 3 Februari 2021, 23:23 WIB
Warga Myanmar yang tinggal di Thailand melakukan aksi protes kudeta di depan gedung PBB di Bangkok, Thailand pada 2 Februari 2021.
Warga Myanmar yang tinggal di Thailand melakukan aksi protes kudeta di depan gedung PBB di Bangkok, Thailand pada 2 Februari 2021. /twitter.com/@Reuters

Oleh: Iskandar Hadrianto

"Meskipun hubungan tradisional & emosional berperan, kedekatan substansi untuk ciptakan regime demokratis adalah assets dalam Diplomasi Indonesia menuju perdamaian kawasan (dan Internasional) sesuai amanat UUD-1945"

Dalam komteks ini Pegangan MFA adalah amanat Konstitusi. Bukan post mortem, bukan juga diplomasi ‘shallow’ (picisan) demi mendongkrak citra Indonesia di entitas ASEAN. Way beyond that.

Seperti manouvre Menlu Ali ‘Alex’ Alatas dengan cocktail party diplomacy, dilanjutkan Jakarta Informal Meeting (JIM) Indonesia sukses lakukan rapprochement, berhasil mendudukkan satu meja faksi-faksi Kamboja (Cambodia) yang bertikai & berseberangan(vide: Son Sann, Samdeg Ranaridh, Hun Sen).

Kenapa untuk issue Myanmar tidak?

Waktu itu penulis masih sangat muda (junior), tapi belajar banyak tentang the real diplomacy. Sebagai Corporal (cecere, jenjang terendah) di Deplu (vide: Kemenlu MFA Pejambon) beruntung terlibat sebagai perbantuan LO JIM sebelum posting di PBB Geneva.

Meskipun tugasnya hanya clipping Koran (vide: saya baca semua) untuk Menlu Alatas.

JIM I-II adalah perundingan di Jakarta antara tahun 1988 dan 1989 untuk menyelesaiakan konflik bersenjata di Kamboja, melibatkan Vietnam dan semua faksi Kamboja yang bertikai.

Melalui JIM, Indonesia memfasilitasi perundingan jalan damai bagi pihak-pihak yang berkonflik.

Sebagai hasilnya, Vietnam dan Kamboja sepakat berdamai dengan ketentuan-ketentuan tertentu dan rezim Pol Pot dicegah untuk kembali berkuasa di Kamboja.

Thinking out of the box:  

Halaman:

Editor: Muhamad Al Azhari


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah