Spiritual Journey Agnez Mo dan Daniel Dilemma

- 27 Februari 2021, 17:32 WIB
Agnez Mo
Agnez Mo /IG@agnezmo/

BERITA SUBANG – Bagi seorang Agnez Mo, mengambil keputusan antara baik  dan buruk atau benar dan salah, bukanlah hal sulit.

Agnez Mo paham Firman Tuhan harus menjadi dasar dari segala keputusan dalam hidupnya. Itu berarti keinginan Tuhan harus diletakkan di atas ambisi,  karir atau apapun yang menjadi tujuan dunia.

Namun persoalan muncul, ketika keputusan yang telah dipilihnya menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa kecewa dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

Ditengah kegalauan, Agnez Mo mencoba bertahan. Sejahtera menjadi kata kunci ketika pilihan telah ditetapkan. Agnez Mo percaya, ia tidak pernah kehilangan apapun ketika menjatuhkan pilihan berlandaskan statusnya sebagai anak Tuhan.

Perbincangan menarik itu diungkapkan Agnez Mo dalam podcast milik sahabatnya Daniel Mananta, beberapa waktu lalu.

Dalam podcast  tersebut Agnez Mo menuturkan bagaimana dirinya kerap diperhadapkan dengan persoalan sulit terutama ketika punya pilihan berbeda dengan label.

Baca Juga: Pendiri GBI Mawar Saron Pdt Jacob Nahuway Meninggal Dunia, Ini Kisah Hidupnya

Namun demikian, Agnez Mo percaya, memiliki iman tidak berarti Tuhan akan mengubah situasi menjadi lebih mudah. Ia tetap memilih berpegang teguh pada Firman saat harus berada di situasi sulit serta pertanyaan hidup yang kerap tak terjawab.

Agnez Mo pun bercerita. Dalam satu kesempatan di tahun 2018, label  memintanya untuk mempromosikan lagu "Overdose" yang dinyanyikannya bersama Chris Brown.

Lagu inilah yang membuka pintu dan kesempatan bagi dirinya untuk memperluas karirnya di kancah musik dunia.

Saat itu, label memintanya untuk melakukan promo di tiga strip club atau klub tari telanjang yang ada di Amerika Serikat.

Promo tersebut terbilang simpel dan menghasilkan uang cukup besar. Agnez Mo hanya perlu hadir di tiga strip club, masing-masing 30 menit dan hanya menyapa para pengunjung klub.

“Jadi gue cuma datang dan DJ akan memainkan Overdose. Masuk ke klub, menyapa para pengunjung selama kurang lebih 30 menit, kemudian keluar. Bayaran yang ditawarkan cukup menggiurkan,  US$ 2,500 per klub atau  hampir Rp1 miliar hanya dalam waktu 1,5 jam," kata Agnez Mo.

Bagi Agnez Mo, tidak sulit untuk menolak tawaran tersebut. Ia sangat percaya, uang bukanlah segalanya. Hatinya juga sejahtera ketika menolak tawaran itu.

Namun disisi lain, Agnez Mo mulai terintimidasi saat ada pihak meragukan profesionalitas dirinya. Apalagi, jika intimidasi itu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya yang punya peran besar  membantu menapaki karir profesionalnya di dunia hiburan.

Masalah bertambah, ketika ada oknum yang merasa Agnez Mo bukan bagian dari tim karena tidak melakukan apa yang harus harus dilakukan.

“Dan pada akhirnya promo yang harus 100 tinggal 50 persen karena ada bagian yang gue tolak,” kata Agnez Mo.

Baca Juga: Junaedi Salat, Ali Tofan Anak Tuhan Berpulang

Penolakan itu berujung pada hubungan yang tidak harmonis antara Agnez Mo dengan orang-orang yang menjadi bagian penting dari perjalanan karirnya.

“Mereka menilai gue seolah-olah sulit. Ga usahlah back up project-nya lagi,” kata agnez Mo meniru nyinyiran oknum tersebut.

Dan yang  tak kalah menyedihkan, ada saja fans dan hatter yang berasumsi bahwa Agnez Mo memang bukan siapa-siapa.

Secara "daging", Agnez Mo mulai terusik. Apalagi, untuk ukuran artis, Agnez Mo terbilang sukses dan punya karir gemerlap. Ia punya album dengan penyanyi sekaliber Christ Brown serta pernah berkolabarasi dengan French Montana.

Tetapi tetap saja cibiran tidak berhenti. “Pantes saja dia dianak tirikan, di ga punya bakat,” kata Agnez Mo meniru cibiran hatters.

Kolase Agnez Mo dan Daniel Dillemma
Kolase Agnez Mo dan Daniel Dillemma

Di tengah kegalauan, Agnez Mo minta saran seorang sahabat. Dan sahabat baiknya itu memberi sebuah buku berjudul “The Daniel Dilemma” karangan Ps Chris Hodges.

Buku ini mengupas cerita Alkitab tentang  kehidupan seorang pemuda keturunan Yahudi bernama Daniel. Daniel adalah kepercayaan Raja Nebukadnezar yang memerintah di Babel. Jika dianalogikan, kehidupan dan budaya Babel saat itu sangat mirip dengan budaya masa kini.

Hanya saja, Daniel punya sikap berbeda. Ia tidak “terbawa arus” dan mampu menunjukkan kualitas pengetahuan yang melebihi generasi di masanya. Dengan semua jabatan dan kekayaannya, Daniel tidak terbawa pada budaya Babel, meski menjalani kehidupan di Babel.

Daniel menjadi figur sempurna. Ia melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati seperti untuk Tuhan dan tidak membiarkan hidupnya dicemarkan  hal-hal duniawi yang bisa merusak hubungan dan kesetiaannya kepada Tuhan.

Baca Juga: Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2020 Meningkat

Sebagai seorang abdi raja, Daniel juga dituntut patuh secara penuh dan mengorbankan nilai-nilai pribadinya. Daniel juga wajib untuk mengikuti budaya orang Babel yakni menyembah raja seperti layaknya dewa.

Disisi ini Daniel berbeda. Ia punya nyali untuk menolak menyembah raja, meski akhirnya harus di lempar ke dalam gua berisi singa buas kelaparan karena beberapa hari tidak diberi makan.

Iman menjadikan Daniel tidak takut. Berlutut menghadap Tuhan tiga kali sehari menjadikan Daniel mampu berdiri tegak menghadapi situasi apapun. Dan di akhir cerita Daniel pun selamat. Singa juga tidak menerkam Daniel karena  Tuhan menjaganya.

Seiring waktu dan belajar dari kehidupan Daniel, Agnez Mo paham bahwa respek terhadap perintah Tuhan jauh lebih berarti dibandingkan apapun termasuk karirnya.

“Jadi pada saat gue nolak, bahkan enggak ada kepikiran, 'aduh sayang', enggak ada. Gue bener-bener cuma, maaf tapi aku enggak bisa," kata Agnez Mo.

Baca Juga: Generasi Muda Perlu Pahami Pengendalian Perubahan Iklim

Disisi lain, Agnez Mo juga tidak ingin menghakimi orang lain dan merasa dirinya lebih baik dari orang tersebut.

“Gue hanya tidak dapat menerangkan bagaimana gue sayangnya dengan Bapa kita. Sebenarnya gue cukup puas dengan yang ada saat ini dan ga nyari yang gimana-gimana. Apalagi ada keluarga dan teman-teman yang baik.”

Bagi Agnez Mo, ketakutan akan kehilangan kasih Bapa jauh melebihi keinginan untuk sukses di dunia ini. Dan keteguhan tetap berpegang pada Firman menjadi landasan hidup untuk berjalan melalui hambatan di dunia ini.

Raja Salomo mengungkapkan untuk menjadi tajam dalam kehidupan, seseorang harus bergesekan dengan orang lain. Kitab Amsal menyebutnya sebagai besi menajamkan besi dan manusia menajamkan sesamanya.***

 

Editor: Tommy MI Pardede


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x